Tradisi Perang Topat di Lombok
- Catherine/Pinterest
Gumi Bali, VIVA Bali – Di tengah keberagaman Indonesia, Lombok menghadirkan sebuah tradisi unik yang menggambarkan keharmonisan umat beragama, yaitu Perang Topat. Tradisi ini bukanlah ajang permusuhan, melainkan simbol toleransi dan rasa syukur masyarakat yang hidup berdampingan, khususnya antara umat Islam dan Hindu di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Makna di Balik Tradisi Perang Topat
Perang Topat adalah ritual budaya yang dilakukan setelah umat Hindu menyelesaikan upacara Pujawali di Pura Lingsar, dan umat Islam menyelesaikan zikir dan doa bersama di Kemaliq. Kedua kelompok kemudian berkumpul di halaman pura dan “berperang” dengan melemparkan ketupat (topat) satu sama lain dengan semangat suka cita.
Meski disebut "perang", tradisi ini memiliki sarat dan makna damai. Ketupat yang dilempar tidak dimaksudkan untuk menyakiti, melainkan sebagai lambang berkah dan harapan kesuburan. Setelah perang usai, warga akan berebut ketupat yang jatuh di tanah dan menanamnya di ladang atau sawah dengan keyakinan bisa mendatangkan hasil panen yang melimpah.
Simbol Toleransi Antarumat Beragama
Pura Lingsar sendiri merupakan situs ibadah yang dibangun oleh Raja Anak Agung Ngurah pada abad ke-18 sebagai tempat ibadah bersama antara umat Hindu dan Islam Wetu Telu. Di sinilah Perang Topat dilaksanakan setiap tahun, biasanya pada bulan November atau Desember, bertepatan dengan penanggalan Sasak dan Bali.
Tradisi ini menjadi bukti konkret bahwa kerukunan antarumat beragama bukan sekadar slogan, tetapi telah menjadi bagian dari identitas masyarakat Lombok. Keterlibatan kedua komunitas dalam tradisi ini menunjukkan bahwa perbedaan keyakinan dapat menjadi sumber kekuatan, bukan perpecahan.