Wayang Potehi, Kesenian Klasik Tiongkok yang Berakulturasi Jadi Warisan Budaya Nusantara
- https://www.instagram.com/p/CoR6Q3ePpdJ/?igsh=MXJiZjZ6dTN4MHI5cg==
Budaya, VIVA Bali – Wayang Potehi adalah seni pertunjukan wayang klasik yang berasal dari Tiongkok Selatan. Nama “Potehi” sendiri berasal dari bahasa Hokkien, yaitu Pou (kain), Te (kantong), dan Hi (wayang), merujuk pada wayang yang terbuat dari kain dan dimainkan dengan tangan. Kesenian ini sudah ada sejak masa Dinasti Jin (265–420 M) dan berkembang pesat pada Dinasti Song (960–1279). Pada abad ke-16, Wayang Potehi dibawa oleh para perantau Tionghoa ke Nusantara sebagai media hiburan dan perdagangan, lalu berakulturasi dengan budaya lokal hingga menjadi bagian dari keberagaman seni pertunjukan Indonesia (gubug-wayang.com).
Sejarah akulturasi Wayang Potehi di Nusantara tercatat dalam ekspedisi Edmund Scott, seorang Inggris yang mengunjungi Banten pada tahun 1602 dan 1625. Ia mencatat adanya pertunjukan opera kecil dengan pernak-pernik Tiongkok yang sangat digemari masyarakat setempat. Bentuk wayang Potehi pun mengalami evolusi, dari awalnya menggunakan kain dan keramik pada kepala, tangan, dan kaki, menjadi wayang dengan kepala kayu yang terbuat dari kayu waru atau mahoni lunak, namun tetap mempertahankan kostum khas Tiongkok yang kaya ornamen (gubug-wayang.com).
Pertunjukan Wayang Potehi dilansir dari wikipedia.org dan indonesiakaya.com, menjelaskan membutuhkan lima pemain, dua dalang dan tiga pengiring musik. Cerita yang dibawakan biasanya legenda dan kepahlawanan dari Tiongkok, seperti Cun Hun Cauw Kok, Hong Kian Cun Ciu, dan Sun Go Kong (Kera Sakti). Pertunjukan biasanya digelar di kelenteng, namun juga sering tampil di luar kelenteng dengan cerita populer yang mudah diterima masyarakat luas. Musik pengiring menggunakan alat tradisional Tiongkok seperti tambur, rebab, simbah, dan suling, serta akulturasi dengan alat musik Jawa seperti bonang, saron, kendang, dan gong, menambah warna khas pertunjukan ini.
Wayang Potehi masuk ke Kabupaten Jombang dan Surabaya sekitar tahun 1920, dibawa oleh para pendatang Tionghoa yang menetap dan berdagang di Indonesia. Kesenian ini menjadi bagian dari identitas budaya etnis Tionghoa di Nusantara, khususnya di Kota Santri seperti Jombang dan Surabaya. Menurut legenda, Wayang Potehi ditemukan oleh lima tahanan yang dijatuhi hukuman mati. Mereka menghibur diri dengan memainkan wayang menggunakan perkakas seadanya, hingga akhirnya mendapat pengampunan dari kaisar. Namun, pada masa 1970-an hingga 1990-an, Wayang Potehi mengalami masa suram akibat tindakan represif terhadap budaya Tionghoa. Setelah era reformasi, Wayang Potehi kembali bangkit dan dipentaskan secara terbuka di berbagai tempat, termasuk pusat perbelanjaan saat Imlek (indonesiakaya.com).
Teknik memainkan Wayang Potehi unik, dilansir dari indonesiakaya.com, menggunakan lima jari tangan. Tiga jari tengah mengendalikan kepala wayang, sedangkan ibu jari dan kelingking menggerakkan tangan wayang. Panggung pertunjukan disebut pay low, berbentuk miniatur rumah berwarna merah, bisa permanen atau bongkar-pasang. Dalang dan asisten dalang bekerja sama menghidupkan cerita dengan 20-25 wayang dalam satu pementasan. Durasi pertunjukan biasanya 1,5 hingga 2 jam, dan cerita dapat dipentaskan secara serial hingga berbulan-bulan. Kini, Wayang Potehi menjadi bagian dari warisan budaya nasional Indonesia yang kaya akan akulturasi dan keberagaman. Pertunjukan ini tidak hanya menghibur, tetapi juga menjadi media pelestarian nilai-nilai budaya Tionghoa dan Nusantara yang telah hidup berdampingan selama berabad-abad.