Tari Campak Belitung, Tarian Gembira Berbalas Pantun yang Hidupkan Budaya Melayu di Tengah Laut
- https://disbudpar.beltim.go.id/content/tari-campak-di-belitung-timur-0
Budaya, VIVA Bali – Provinsi Bangka Belitung, dengan pantainya yang indah dan warisan Melayu yang kental, menyimpan kesenian tradisional yang penuh keceriaan yaitu Tari Campak. Kesenian ini bukan sekadar tarian, melainkan ajang pergaulan muda-mudi yang sarat pantun sastra lisan, menjadi hiburan rakyat hingga larut malam. Dibagi menjadi campak darat sebagai tari pergaulan umum dan campak laut yang khas suku Sawang, yang berpasangan dengan nyanyian gembira. Campak sering jadi wadah mencari pasangan atau sekadar merayakan kebersamaan. Dari stigma negatif masa lalu hingga ikon pariwisata kini, Tari Campak mencerminkan adaptasi budaya Melayu Belitung yang dinamis, terutama di acara pernikahan, festival, dan lomba berbalas pantun (indonesiakaya.com).
Asal-usul Tari Campak masih misterius, dengan berbagai teori yang beredar. Salah satunya dari cerita nenek-nenek terdampar dari Champa, Vietnam, yang menari untuk menghibur diri di Pulau Seliu selatan Belitung, lalu berkembang jadi kesenian lokal. Ada pula yang bilang berasal dari kata "mencampakkan uang" karena tradisi saweran, atau "moral tercampak" akibat pantun merayu yang nakal. Sumber lain menyebut dibawa dari Kepulauan Riau oleh Nek Campak, lalu berakulturasi dengan pengaruh Portugis saat penjajahan, dimana terlihat dari gerakan Eropa, kostum, dan musik, meski pantun Melayu tetap melekat. Belum ada bukti pasti, tapi Campak telah jadi bagian tak terpisahkan adat Melayu Belitung, bahkan dibahas dalam diskusi Kelakar Seniman dan Budayawan di Tanjungpandan (budaya-indonesia.org).
Karakteristik Tari Campak penuh kegembiraan dengan dibawakan pria-wanita berpasangan, lalu gerakan lincah menggambarkan pergaulan remaja, ekspresi ceria, dan interaksi berbalas pantun yang jadi ciri khas. Biduan wanita memancing pria penonton naik panggung adu pantun, sambil nyanyi lagu ber-syair pantun bahasa Belitung. Pertunjukan di tanah lapang dengan tikar alas, sering ajak penonton ikut menari untuk kemeriahan. Musik pengiring sederhana diiringi gendang panjang, tawang-tawang (semacam gender), dan piul atau biola yang menciptakan irama mengalun. Kini, modernisasi jadi campak dangdut, gabungkan elemen dangdut untuk tarik penonton muda, seperti dijelaskan sejarawan Salim Yah. Dulu kontroversial di 1960-an karena kostum minim norma, pantun genit, dan saweran uang tradisional, tapi kini positif sebagai pelestari budaya (beltim.go.id).
Fungsi Tari Campak berevolusi seiring zaman. Awalnya hiburan sepulang ume (kebun) atau musim panen padi, kini dipentaskan di hajatan pernikahan, maras taun (perayaan tahun), penyambutan tamu, dan acara budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Belitung Timur. Campak darat jadi tari pergaulan umum, sementara campak laut suku Sawang lebih intim, berlangsung larut malam sebagai ajang sosial. Di event seni, sering dilombakan untuk tarik wisatawan—penari ajak turis ikut, ciptakan pengalaman autentik. Ini bantu promosi Belitung Timur sebagai destinasi budaya, dari pantai hingga kesenian hidup (indonesiakaya.com).
Pelestarian Tari Campak didorong komunitas dan pemerintah, transformasi dari hiburan lokal jadi ikon Bangka Belitung. Meski sempat redup karena stigma, kini bangkit lewat festival dan pariwisata, integrasikan pantun Melayu dengan elemen modern tanpa hilang esensi. Generasi muda diajari di sanggar, pastikan Campak tetap relevan di era digital. Dari teori terdampar Vietnam hingga dangdut kontemporer, kesenian ini jadi jembatan masa lalu dan kini, perkuat identitas Melayu Belitung sebagai tanah yang ramah dan penuh cerita.