Muwon Namo, Ritual Kuno Suku Batin Sembilan untuk Memohon Hujan dan Harmoni Alam di Jambi

Tradisi kuno suku Batin Sembilan yang lestari
Sumber :
  • https://indonesiakaya.com/pustaka-indonesia/muwon-namo-ritual-memohon-hujan-ala-suku-batin-ix-di-jambi

Tradisi, VIVA Bali – Provinsi Jambi menyimpan kekayaan budaya suku-suku asli yang menyatu erat dengan alam, salah satunya ritual Muwon Namo dari suku Batin Sembilan. Tradisi ini merupakan upacara sakral untuk memohon hujan kepada Sang Maha Kuasa saat musim kemarau melanda, sekaligus simbol harmoni antara manusia, alam, dan leluhur. Dilaksanakan di tepi Sungai Batanghari, khususnya di Desa Muaro Singoan, Kabupaten Batanghari, ritual ini nyaris punah seiring modernisasi, tetapi kembali hidup melalui Festival Suku Batin IX pada 20–22 Juli 2024. Acara ini tidak hanya merevitalisasi tradisi, tapi juga menjadi sarana pendidikan bagi generasi muda untuk melestarikan nilai-nilai luhur suku Batin Sembilan (indonesiakaya.com).

Tradisi Brobosan, Benarkah Bertentangan dengan Islam?

Asal-usul Muwon Namo dilansir dari indonesiakaya.com, dapat ditelusuri melalui legenda Raden Ontar, seorang keturunan Kerajaan Majapahit yang bernama asli Raden Nagosari. Konon, Raden Ontar memperkenalkan ritual ini untuk mengatasi kekeringan parah di Dusun Sialang Pungguk, yang terletak di seberang Desa Muaro Singoan. Kisah lisan yang diceritakan Datuk Raden Sulaiman, tokoh adat setempat, menggambarkan sepasang suami-istri suku Batin Sembilan yang tinggal di hutan. Sang istri menemukan dua telur ular, dan tanpa sengaja suaminya memakannya, menyebabkan dahaga hebat hingga sumber air di sekitar kering. Untuk mengatasi itu, sang istri menggunakan kuali dapur sebagai wadah ritual memanggil hujan, yang menjadi cikal bakal Muwon Namo. Raden Ontar memiliki sembilan anak yang dikaitkan dengan sembilan sungai utama seperti Sungai Jebak, Sungai Bahar, dan Sungai Muaro Singoan. Anak bungsu, Raden Singo Ano, ditugaskan menjaga Sungai Muaro Singoan dan menjadi Raja Singo Ano, dengan ritual ini lahir sebagai simbol harapan dan kesejahteraan di tengah bencana alam.

Pelaksanaan Muwon Namo menekankan khidmat dan persiapan khusus, dipimpin oleh tokoh adat seperti Datuk Raden Sulaiman. Ritual dimulai dengan persembahan bahan sakral, termasuk minyak wangi, kemenyan, kapur sirih, dan kain hitam, untuk memastikan kelancaran upacara. Prosesi utama adalah pelarungan relief naga yang terbuat dari tanah liat ke Sungai Batanghari, diiringi mantra-mantra mistis yang menggema dan aroma kemenyan yang memenuhi udara. Relief naga tersebut disiramkan air sungai hingga luluh dan terbawa arus, melambangkan kembalinya elemen alam ke sumbernya. Dahulu, ritual ini dilakukan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari saat kemarau panjang, disertai penebaran benih ikan untuk pelestarian ekosistem sungai yang menjadi sumber kehidupan masyarakat. Di Dusun Sialang Pungguk, upacara juga melibatkan persembahan ayam jantan di makam Rajo Singo Ano, sebagai doa agar hujan turun dan tanah subur kembali. Kekeringan dianggap sebagai kutukan dewa hujan, sehingga ritual ini menjadi bentuk permohonan tulus untuk kesuburan pertanian dan kesejahteraan (indonesiakaya.com).

Harmoni Hujan dan Rakyat Probolinggo dalam Gelaran Ojung

Hingga kini, esensi Muwon Namo tetap terjaga sebagai warisan spiritual suku Batin Sembilan, meski pelaksanaannya lebih sering terintegrasi dalam festival budaya daripada rutinitas harian. Tidak ada aturan ketat seperti permainan fisik, tapi penekanannya pada kesakralan yaitu partisipan harus membersihkan diri secara rohani, menghindari konflik, dan melibatkan seluruh komunitas untuk memperkuat ikatan sosial. Mantra yang diucapkan harus tepat, dan pelarungan relief naga menjadi puncak simbolis, di mana larutnya naga merepresentasikan pelepasan kekeringan dan aliran berkah. Pelestarian Muwon Namo menjadi prioritas komunitas suku Batin Sembilan melalui festival tahunan dan cerita lisan yang diturunkan secara turun-temurun.