Ritme Kayu Gejog Lesung yang Menghidupkan Suasana Desa
- https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Gejog_Lesung_Desa_Krikilan_Sangiran.jpg
Tradisi, VIVA Bali – Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, warisan budaya lokal sering kali menjadi pengingat bahwa tradisi lahir dari kebutuhan masyarakat di masa lalu. Salah satu contohnya adalah Gejok Lesung, sebuah kesenian tradisional yang berasal dari kebiasaan nenek moyang ketika menghadapi peristiwa alam langka.
Gejok Lesung pada awalnya bukan sekadar hiburan. Tradisi ini berakar dari kebiasaan masyarakat Jawa ketika terjadi gerhana. Kala itu, orang-orang memukul lesung, alat kayu besar untuk menumbuk padi, sebagai bentuk ritual agar gerhana segera berakhir. Seperti dijelaskan dalam portal Perpustakaan Digital Budaya Indonesia, suara pukulan lesung dipercaya mampu mengusir makhluk gaib yang dianggap sedang “menelan” matahari atau bulan. Dengan begitu, masyarakat berharap cahaya akan kembali bersinar.
Namun, seiring berjalannya waktu, makna ritual tersebut bergeser. Dari sekadar tindakan magis, Gejok Lesung berubah menjadi sebuah kesenian. Lesung yang biasanya menjadi alat pertanian kemudian diperlakukan sebagai instrumen musik. Nada-nada ritmis tercipta dari pukulan kayu ke kayu, menghasilkan bunyi khas yang hidup. Menurut laporan Sorot Gunung Kidul, tradisi ini kini lebih dipahami sebagai bentuk kebersamaan masyarakat sekaligus seni pertunjukan yang menghibur, meski akarnya tetap tertanam dalam ritual nenek moyang.
Pertunjukan Gejok Lesung biasanya dimainkan oleh sekelompok orang, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka duduk melingkar, saling berbagi peran dalam memukul lesung dengan irama tertentu. Suasana menjadi lebih hidup ketika lantunan tembang Jawa turut mengiringi dentuman kayu. Dalam praktiknya, Gejok Lesung bukan sekadar musik, melainkan ruang sosial tempat masyarakat berkumpul, bersenda gurau, dan menjaga rasa kebersamaan.
Transformasi Gejok Lesung dari ritual gerhana ke bentuk seni memberi kita gambaran bagaimana budaya bisa beradaptasi. Tradisi ini membuktikan bahwa praktik yang lahir dari kepercayaan kosmologis dapat menemukan relevansi baru sebagai ekspresi seni. Seperti yang disampaikan dalam portal Perpustakaan Digital Budaya Indonesia, Gejok Lesung kini dipandang sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu dijaga, bukan hanya karena nilai estetikanya, tetapi juga karena fungsi sosialnya.
Di era modern, Gejok Lesung kerap ditampilkan dalam acara budaya, perayaan desa, hingga festival seni. Laporan dari Sorot Gunung Kidul juga menegaskan bahwa pelestarian kesenian ini adalah bentuk penghormatan pada kearifan lokal, sekaligus cara untuk memastikan generasi muda tetap mengenal akarnya.
Gejok Lesung bukan hanya bunyi kayu yang dipukul bergantian, melainkan gema sejarah yang membawa pesan tentang bagaimana masyarakat dulu berhubungan dengan alam semesta. Kini, di tangan generasi penerus, ia menjadi simbol bahwa tradisi bisa tetap hidup, bukan dengan menolak perubahan, melainkan dengan menemukan cara baru untuk tetap relevan.