Sejarah Kelam dan Kontroversi Tradisi Rampog Macan
- https://commons.wikimedia.org/wiki/File:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Grasveld_met_tijger_en_publiek_rampokkan_TMnr_3728-833.jpg
Tradisi, VIVA Bali –Rampog Macan adalah salah satu tradisi kuno di Jawa yang menyimpan kisah penuh simbol dan kontroversi. Praktik ini bukanlah sebuah tari-tarian, melainkan ritual berdarah yang mempertontonkan pertarungan antara seekor macan dengan hewan lain, umumnya kerbau. Tradisi ini berkembang pada masa Jawa abad ke-18 hingga awal abad ke-20, dan sering digelar di alun-alun kota sebagai tontonan masyarakat sekaligus ritual dengan makna tertentu.
Menurut informasi dari Perpustakaan Digital Budaya Indonesia, Rampog Macan memiliki akar simbolis yang kuat. Harimau dianggap sebagai lambang kekacauan, kebuasan, dan ancaman terhadap ketertiban sosial. Dengan mengalahkan harimau, masyarakat Jawa percaya bahwa mereka ikut menjaga harmoni dan ketertiban dalam kehidupan sehari-hari. Kerbau yang biasanya dipertarungkan melawan macan melambangkan kekuatan rakyat, sehingga kemenangan kerbau dimaknai sebagai tegaknya keteraturan sosial.
Seperti yang dipaparkan dalam kajian Histma UGM, Rampog Macan bukan hanya hiburan, melainkan juga sarana politik. Pertunjukan ini sering digelar oleh penguasa untuk menunjukkan kekuatan dan kuasa mereka dalam menjaga ketertiban. Dengan menampilkan kekalahan harimau di hadapan rakyat, penguasa memperlihatkan peranannya sebagai penjaga stabilitas dan pelindung masyarakat. Namun, praktik ini juga tidak lepas dari sisi kontroversial karena melibatkan pertumpahan darah hewan secara langsung di depan publik.
Pertunjukan Rampog Macan biasanya diadakan di alun-alun, tempat yang menjadi pusat interaksi sosial sekaligus panggung kekuasaan. Ribuan orang datang menyaksikan pertempuran sengit itu. Bagi masyarakat, peristiwa ini bukan sekadar tontonan, melainkan pengalaman kolektif yang sarat akan pesan simbolis, yaitu kemenangan keteraturan atas kekacauan.
Menariknya, Rampog Macan juga merefleksikan bagaimana hewan dijadikan medium representasi nilai sosial dan politik. Hewan bukan sekadar makhluk hidup, melainkan simbol yang mengandung makna mendalam. Harimau, yang ditakuti, diposisikan sebagai ancaman yang harus dikendalikan. Sementara kerbau, yang dekat dengan kehidupan tani, dijadikan lambang rakyat kecil. Pertarungan di arena menjadi gambaran dramatis tentang relasi antara masyarakat, penguasa, dan simbol-simbol kekuasaan yang mereka anut.
Namun, seiring berkembangnya zaman, praktik Rampog Macan ditentang karena dianggap kejam dan tidak sesuai dengan nilai kemanusiaan. Pada awal abad ke-20, tradisi ini akhirnya dihentikan secara resmi. Kini, Rampog Macan hanya tersisa dalam catatan sejarah sebagai warisan budaya yang menyimpan cerita tentang bagaimana masyarakat Jawa dahulu memahami simbol, kekuasaan, dan harmoni sosial.
Rampog Macan mungkin tidak lagi hadir dalam kehidupan modern, tetapi jejaknya mengingatkan kita bahwa tradisi budaya selalu mencerminkan dinamika sosial dan politik pada masanya. Dari ritual berdarah ini, kita bisa melihat bagaimana sebuah masyarakat menggunakan simbol binatang untuk merefleksikan nilai, kekuasaan, sekaligus ketakutan kolektif mereka. Rampog Macan tidak hanya bercerita tentang hewan yang bertarung, tetapi juga tentang manusia yang mencoba menata dunia melalui simbol-simbol budaya.