Mengulik Pertunjukan Tayub Jawa Timur, Antara Seni dan Kontroversi

Ilustrasi pertunjukan kesenian Tayub asal Jawa Timur
Sumber :
  • https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Tayub_CC_BY_SA_4.0_Suhendro_Winarso.jpg

Tradisi, VIVA Bali – Tayub adalah salah satu kesenian rakyat Jawa Timur yang populer dan kerap hadir dalam berbagai acara adat, hiburan, maupun selamatan desa. Menurut informasi dari Perpustakaan Digital Budaya Indonesia, Tayub pada dasarnya merupakan tradisi yang berfungsi sebagai simbol ikrar kesetiaan masyarakat kepada pemimpin atau tokoh setempat. Melalui prosesi ini, masyarakat menunjukkan kesediaan mereka untuk menjaga, melindungi, dan menghormati pemimpin yang dipercaya.

Sejarah Kelam dan Kontroversi Tradisi Rampog Macan

Di Jawa Timur, Tayub dikenal sebagai seni pergaulan di mana penari wanita, disebut ledhek atau waranggana, melakukan tarian yang mengundang partisipasi penonton laki-laki. Seperti dijelaskan dalam arsip Disperpusip Jawa Timur, penonton bahkan bisa ikut menari bersama penari dan menyodorkan saweran sebagai bentuk apresiasi. Praktik ini membuat Tayub bukan sekadar tontonan, melainkan juga ruang interaksi langsung antara penari dan masyarakat yang menyaksikannya.

Unsur musik dalam Tayub pun sangat khas. Iringan gamelan karawitan tidak hanya berfungsi sebagai latar, tetapi juga menentukan dinamika pertunjukan. Irama yang cepat menciptakan suasana meriah, sementara alunan yang lembut memberi ruang interaksi yang lebih intim antara penari dan penonton. Dengan begitu, pengalaman menonton Tayub tidak hanya hadir lewat gerakan visual, tetapi juga melalui nuansa musikal yang membangkitkan emosi.

Atraksi Bambu Gila, Pertunjukan Mistis dari Tanah Maluku

Meski penuh dengan makna sosial, Tayub tidak lepas dari kontroversi. Dalam catatan Disperpusip Jawa Timur, kesenian ini sempat menuai penolakan karena dianggap terlalu dekat dengan unsur erotis, terutama akibat interaksi fisik yang terjadi antara penari dan penonton. Kontroversi ini kemudian memunculkan perdebatan tentang batas antara seni, hiburan, dan moralitas dalam kehidupan masyarakat Jawa Timur.

Namun demikian, Tayub tetap memiliki posisi penting sebagai media ekspresi kolektif. Pertunjukan ini menjadi ruang di mana masyarakat bisa berkumpul, bersenang-senang, sekaligus mempererat ikatan sosial. Dari sini terlihat bahwa Tayub bukan sekadar tarian, melainkan juga wadah untuk menegosiasikan nilai-nilai budaya, estetika, dan norma sosial yang hidup di tengah masyarakat.

Tumbilotohe Gorontalo, Tradisi Menyalakan Lampu Selama 3 Hari Menjelang Idul Fitri

Seiring waktu, Tayub harus menghadapi tantangan baru di era modern. Perkembangan hiburan digital dan perubahan selera generasi muda membuat kesenian ini semakin terpinggirkan. Meski begitu, sejumlah sanggar dan komunitas budaya masih berusaha menjaga Tayub tetap eksis, misalnya dengan mengemasnya dalam festival budaya atau pertunjukan edukatif. Dengan cara ini, generasi baru tidak hanya mengenal Tayub sebagai tarian yang “kontroversial,” tetapi juga memahami akar nilai dan makna sosial di baliknya.

Tayub mengingatkan kita bahwa kesenian rakyat tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu lahir dari dinamika sosial, menjadi saksi pergulatan nilai, dan terus beradaptasi menghadapi perubahan zaman.