Filosofi di Balik Sate Lilit Bali, Lebih dari Sekadar Cita Rasa
- Sumber foto: istock https://www.istockphoto.com/id/search/2/image-film?phrase=sate+lilit
Kuliner, VIVA Bali –Di antara deretan kuliner khas Nusantara yang menggoda selera, sate lilit dari Bali tampil dengan pesona berbeda. Bukan hanya karena aromanya yang memikat atau teksturnya yang lembut, tetapi karena setiap lilitan daging di tusukannya menyimpan makna budaya yang dalam. Lebih dari sekadar makanan, sate lilit adalah simbol keharmonisan, kerja sama, dan rasa syukur masyarakat Bali terhadap alam.
Selain memiliki rasa yang khas, Sate Lilit Bali juga punya sejarah
- Sumber foto : i stock https://www.istockphoto.com/id/search/2/image-film?phrase=sate+lilit
Makna di Balik Lilitan
Tidak seperti sate pada umumnya yang ditusuk secara memanjang, sate lilit dibuat dengan cara melilitkan adonan daging yang sudah dibumbui ke batang serai, bambu pipih, atau tusukan kelapa. Proses melilit ini bukan sekadar teknik memasak, ia mencerminkan filosofi kehidupan masyarakat Bali yakni keterikatan, persatuan, dan keseimbangan.
Melilitkan daging secara perlahan melambangkan ngayah, semangat pengabdian dan gotong royong yang menjadi bagian dari kehidupan spiritual di Bali. Setiap lilitan adalah simbol komitmen untuk menyatu, baik dengan sesama manusia, dengan alam, maupun dengan para leluhur.
Unsur Bumbu yang Sarat Makna
Sate lilit biasanya menggunakan daging ikan, ayam, atau babi yang dicampur dengan kelapa parut, santan, bawang, serai, daun jeruk, dan bumbu khas Bali bernama base genep. Base genep sendiri terdiri dari berbagai rempah dan bumbu yang mewakili unsur-unsur kehidupan yakni tanah, air, api, udara, dan ruang. Ini bukan sekadar racikan rasa, tapi juga representasi kosmologi Bali yang dikenal sebagai konsep Tri Hita Karana—tiga penyebab kebahagiaan: hubungan harmonis dengan Tuhan, dengan sesama, dan dengan alam.