Pura Luhur Lempuyang dan Mitos Gerbang Surga yang Salah Kaprah
- Sumber: https://www.viator.com
Gumi Bali, VIVA Bali –Pura Luhur Lempuyang merupakan salah satu pura tertua dan paling sakral di Bali, terletak di puncak Gunung Lempuyang, Kabupaten Karangasem. Sebagai bagian dari Sad Kahyangan Jagad atau enam pura utama penjaga arah mata angin di Bali, pura ini diyakini memiliki kekuatan spiritual yang besar dan berperan menjaga keseimbangan pulau Bali.
Sejarah dan Makna Spiritual
Menurut sumber dari Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Pura Luhur Lempuyang dipercaya telah berdiri jauh sebelum masuknya agama Hindu ke Bali. Artinya, pura ini berasal dari masa pra-Hindu, dan menjadi simbol kuat dari keberadaan spiritual kuno yang menghormati alam dan kekuatan tertinggi.
Pura ini dipersembahkan kepada Ida Betara Hyang Iswara, dewa penjaga arah timur dalam kepercayaan Hindu Bali.
Kompleks Pura Lempuyang terdiri dari tujuh pura yang tersebar di sepanjang lereng Gunung Lempuyang. Pura Luhur Lempuyang yang berada di puncak merupakan pura utama dan paling tinggi, berada di ketinggian sekitar 1.174 meter di atas permukaan laut.
Untuk mencapainya, pengunjung harus menaiki lebih dari 1.700 anak tangga sambil melewati beberapa pura lainnya.
Arsitektur dan Akses Menuju Pura
Salah satu ciri arsitektur khas dari Pura Luhur Lempuyang adalah Candi Bentar, yang berupa gerbang terbelah simetris dan tanpa penghubung pada bagian atasnya. Gerbang ini yang kini populer sebagai objek foto wisatawan.
Gerbang ini sebenarnya merupakan simbol pembatas antara dunia luar (sekala) dan dunia rohani (niskala). Pemandangan Gunung Agung yang tampak simetris di tengah gerbang, terutama saat cuaca cerah, menambah daya tarik visual dari tempat ini.
Namun, akses menuju Pura Luhur Lempuyang bukan sekadar wisata, melainkan perjalanan spiritual. Perjalanan menaiki ribuan anak tangga ini dipercaya sebagai proses penyucian diri, baik fisik maupun batin. Banyak umat Hindu Bali melakukan perjalanan ini dengan hati yang bersih, sembari membawa persembahan dan doa.
Mitos “Gerbang Surga” yang Salah Kaprah
Dalam beberapa tahun terakhir, beredar luas foto-foto yang menunjukkan seorang berdiri di tengah gerbang pura dengan latar belakang Gunung Agung dan pantulan seolah-olah di atas air.
Gambar ini memunculkan istilah “Heaven’s Gate” atau “Gerbang Surga.” Padahal, istilah ini tidak pernah dikenal dalam konteks budaya dan spiritual masyarakat Bali.
Faktanya, pantulan yang terlihat dramatis dalam foto tersebut adalah hasil trik fotografi menggunakan kaca atau cermin, bukan cerminan dari kolam air sebagaimana banyak diasumsikan. Lebih dari itu, menjadikan tempat suci ini hanya sebagai spot foto, tanpa memahami konteks spiritualnya, merupakan bentuk penyalahgunaan makna sakral dari pura tersebut.
Hari Raya dan Tradisi Keagamaan
Pura Luhur Lempuyang memiliki hari raya penting yang disebut Piodalan, yang dirayakan setiap enam bulan dalam kalender Bali, yaitu pada hari Kamis Umanis Wuku Dungulan (sehari setelah Galungan).
Pada hari itu, ribuan umat Hindu dari berbagai wilayah melakukan persembahyangan dengan penuh khidmat, memohon berkah dan keselamatan kepada Sang Hyang Widhi Wasa.
Pura ini juga menjadi salah satu destinasi Tirta Yatra, yaitu perjalanan spiritual umat Hindu mengunjungi pura-pura suci sebagai bagian dari penyucian diri. Dalam konteks ini, Pura Luhur Lempuyang memiliki fungsi yang sangat penting, bukan hanya sebagai simbol keagamaan, tetapi juga sebagai tempat pembelajaran spiritual dan introspeksi diri.
Menghormati Kesucian Pura
Sebagai tempat suci, Pura Luhur Lempuyang memerlukan sikap penuh hormat dari setiap pengunjung. Berpakaian sopan, mengenakan kain dan selendang, tidak membuat keributan, serta menjaga kebersihan lingkungan adalah bentuk penghormatan yang wajib diterapkan.
Pihak pengelola pura pun telah memberikan petunjuk yang jelas kepada wisatawan agar tetap menjaga etika selama berkunjung.
Dengan memahami dan menghormati nilai-nilai spiritual dari Pura Luhur Lempuyang, kita tidak hanya memperoleh pengalaman visual yang memukau, tetapi juga dapat memperkaya batin dan menjaga warisan budaya Bali agar tidak terdistorsi oleh kepentingan wisata semata.