Mengungkap Tradisi Maburu di Tengah Hiruk Pikuk Kota Denpasar
- https://desadatpanjer.com/profil/tradisi/
Gumi Bali, VIVA Bali – Tradisi sakral yang masih terus mengakar kuat di tengah hiruk-pikuk kota menjadi bukti bahwa spiritualitas masyarakat Bali tak lekang oleh waktu. Salah satu bentuk kekayaan budaya ini adalah tradisi Maburu yang penuh makna simbolik dan spiritualitas tinggi.
Desa Adat Panjer terletak di Kota Denpasar, Bali, dan dikenal aktif menjaga tradisi meski berada di wilayah perkotaan. Tradisi Maburu biasanya dilaksanakan menjelang Hari Raya Nyepi, khususnya saat Tawur Kesanga.
Secara historis, keberadaan tradisi Maburu erat kaitannya dengan kisah masa lalu Kerajaan Toh Jaya dan tokoh Luh Semi. Dari cerita mistis hingga kelahiran simbolik anak raja, asal-usul wilayah Panjer pun terbentuk dan berakar dalam nilai-nilai mitologi yang dipercaya masyarakat.
Rangkaian tradisi Maburu dimulai tiga hari sebelum Nyepi, ketika Ida Bhatara melakukan paruman di Bale Agung. Selanjutnya, upacara pamelastian dilaksanakan di Pura Segara, dan sehari sebelum Nyepi, prosesi upacara berlanjut dengan ngider di Bale Agung tiga kali.
Pada momen ini, pengadeg akan mengalami kerauhan dan berlari menuju Pura Tegal Penangsaran dalam keadaan trance. Mereka dipercaya sedang 'memburu' simbol-simbol Tri Guna berupa babi hitam, ayam, dan itik sebagai lambang transformasi sifat manusia.
Puncak prosesi Maburu diramaikan dengan pagelaran tari sakral seperti Rejang Dewa dan Baris Meburu, hingga dilanjutkan dengan prosesi mecaru dan nyambleh. Suasana penuh spiritualitas dan energi mistis menyelimuti warga yang ikut trance dan larut dalam kekuatan ritual tersebut.
Melalui Maburu, masyarakat Panjer tak hanya menjaga tradisi, tetapi juga menegaskan filosofi hidup Hindu tentang keseimbangan antara alam dan manusia. Tradisi ini menjadi wujud nyata dari nilai luhur, gotong royong, dan kekuatan budaya yang diwariskan lintas generasi.