Menjaga Nadi Agraris Bali dalam "Benteng" Museum Subak
- https://sisparnas.kemenpar.go.id/p/18232
Wisata, VIVA Bali – Di tengah hiruk-pikuk pariwisata Bali yang kian pesat, ada satu ruang hening yang seakan menjadi pengingat. Museum Subak yang terletak di Tabanan. Museum ini tidak hanya menyimpan benda-benda pertanian, tetapi juga narasi panjang tentang bagaimana orang Bali menjaga harmoni antara manusia, alam, dan spiritualitas melalui sistem irigasi tradisional bernama subak.
Subak bukan sekadar cara mengalirkan air dari hulu ke sawah. Ia adalah manifestasi kearifan lokal yang berakar pada filosofi Tri Hita Karana. Sederhananya, Tri Hita Karana ialah keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan lingkungan. Di museum ini, pengunjung diajak untuk memahami bagaimana sistem yang diakui UNESCO sebagai warisan dunia itu menjadi denyut kehidupan masyarakat agraris Bali.
Namun, di balik kebanggaan tersebut, ada kegelisahan yang terasa. Lahan pertanian di Bali perlahan terdesak oleh hotel, vila, dan pusat perbelanjaan. Alih fungsi lahan membuat generasi muda semakin jauh dari sawah. Seperti dicatat dalam jurnal Museum Subak: Menjaga Identitas Budaya Agraris di Tengah Gempuran Alih Fungsi Lahan di Bali, “perubahan tata ruang yang masif telah menggerus fungsi sawah, sekaligus melemahkan ikatan sosial-ekologis masyarakat subak.” Museum Subak kemudian hadir sebagai penanda identitas, tempat di mana masyarakat bisa menengok kembali akar budaya yang terancam terkikis modernisasi.
Lebih dari sekadar etalase, museum ini berfungsi sebagai ruang edukasi. Anak-anak sekolah datang berkunjung untuk melihat alat pertanian tradisional, mempelajari sejarah irigasi, bahkan menyaksikan dokumentasi ritual subak. Para wisatawan pun diajak melihat Bali dari sisi lain, tidak hanya pantai dan pura, tetapi juga keringat petani yang selama berabad-abad menjaga keseimbangan alam.
Dari jurnal yang sama juga ditegaskan bahwa “Museum Subak tidak hanya mengoleksi benda-benda mati, tetapi juga menghadirkan praktik budaya yang hidup.” Dengan kata lain, museum ini adalah “rumah ingatan” bagi orang Bali. Ia menjadi benteng kultural yang berusaha melindungi identitas agraris, sekaligus menjadi kritik halus atas perubahan tata ruang yang kian mengabaikan sawah.
Di tengah derasnya arus globalisasi, Museum Subak mengajarkan bahwa modernitas tidak selalu harus menyingkirkan tradisi, melainkan bisa berdampingan bila ada kesadaran untuk menjaga warisan leluhur.