Eco-Anxiety, Kecemasan Global yang Bukan Semata Drama
- https://pixabay.com/illustrations/climate-change-global-warming-2254711/
Lifestyle, VIVA Bali – Pernah merasa takut masa depan planet sehingga bangun tengah malam tersadar: "Apa yang akan terjadi jika es mencair, banjir makin sering, dan udara makin panas?" Itu bukan sekadar perasaan panik biasa—itulah yang disebut eco-anxiety, kecemasan lingkungan yang kini makin sering dirasakan terutama oleh generasi muda di Indonesia.
Eco-anxiety bukan fiksi. Sebagai respons emosional terhadap krisis iklim, istilah ini didefinisikan oleh American Psychological Association sebagai "rasa takut kronis terhadap kehancuran lingkungan yang nyata". Gejalanya bisa berupa sulit tidur, overthinking, panik, rasa tak berdaya, bahkan muncul gejala stres berat atau depresi jika dibiarkan.
Survei Youth Climate Report dari UNICEF USA terhadap lebih dari 3.300 anak muda di 15 negara (termasuk Asia) menemukan bahwa sekitar 57% remaja mengalami gejala eco-anxiety, yaitu kekhawatiran mendalam tentang krisis iklim yang memengaruhi mental mereka.
Gaya hidup digital dan paparan informasi terus-menerus tentang bencana menjadikan generasi muda lebih rentan. Mereka tumbuh dalam dunia tempat berita negatif seperti banjir, kebakaran hutan, atau pemanasan global terus bermunculan—tanpa jeda untuk ‘bernapas’.
Faktor Pemicu Eco-Anxiety
- Paparan langsung terhadap bencana alam, seperti gempa, banjir atau kekeringan, meningkatkan risiko trauma dan ketidakpastian masa depan.
- Informasi negatif tanpa konteks solusi, khususnya di media sosial—dari konten politik hingga feed berita—yang membuat orang merasa tak berdaya.