Ngaben, Ritual Sakral Hindu Bali yang Menyimpan Nilai Kehidupan dan Tantangan Modern

Prosesi Ngaben orang Hindu di Bali
Sumber :
  • https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ngaben

Tradisi, VIVA Bali – Indonesia kaya dengan tradisi yang sarat makna. Salah satunya adalah ritual Ngaben, upacara pembakaran jenazah dalam ajaran Hindu Bali. Bagi masyarakat Hindu, ngaben bukan sekadar prosesi pemakaman, tetapi bentuk pengabdian terakhir seorang anak kepada leluhurnya. Namun, seiring perkembangan zaman, ritual ini tidak hanya menghadirkan kesakralan, tetapi juga tantangan sosial dan ekonomi bagi masyarakat yang melaksanakannya.

Upacara Otonan di Bali Sebagai Wujud Syukur dan Penyucian Diri

 

Makna Filosofis Ritual Ngaben

 

Menguatkan Hubungan Spiritual Melalui Tradisi Tumpek Kandang di Bali

Dalam ajaran Hindu, setiap manusia memiliki tiga hutang hidup atau Tri Rna: kepada Tuhan, orang tua, dan para guru. Salah satu cara membayar hutang ini adalah dengan melakukan Pitra Yadnya, yaitu persembahan kepada leluhur. Ngaben termasuk dalam Pitra Yadnya karena menjadi jalan untuk menyucikan roh agar kembali ke asalnya. Seperti dikutip dalam RCS Journal (Perdana, Hamdi & Ramdani, 2022), “Ngaben merupakan ritual wajib yang memiliki tujuan membantu roh menuju alam yang lebih baik di sisi Ida Sang Hyang Widhi Wasa.”

 

Proses Sakral yang Sarat Nilai

Ngaben Virtual? Dilema dan Inovasi Masyarakat Bali Perantauan Melaksanakan Ritual Kewajiban dari Jauh

 

Pelaksanaan ngaben penuh tahapan dan simbol. Mulai dari memandikan jenazah (ngemandusin), penyucian (ngeringkes), hingga pembakaran (ngeseng) yang melambangkan pelepasan roh dari jasad duniawi. Selain itu, ngaben juga sarat dengan nilai kekeluargaan dan solidaritas sosial. Seperti dijelaskan dalam jurnal yang sama, “nilai kekeluargaan dan solidaritas sosial membuat ritual ini tetap terjaga hingga saat ini.”

 

Tradisi megibung (makan bersama) dan ngunye (menghibur keluarga berduka) memperlihatkan betapa kuatnya peran masyarakat dalam menjaga harmoni dan kebersamaan.

 

Pergeseran Makna dan Tantangan Modern

 

Seiring masuknya era modern, makna ngaben mulai mengalami pergeseran. Jika dahulu ritual ini dipandang sakral, kini dalam beberapa kasus juga menjadi ajang gengsi. Tidak jarang masyarakat rela berhutang atau menjual harta demi melaksanakan ngaben yang meriah. “Perubahan pemaknaan masyarakat terhadap ngaben seringkali mendorong praktik meminjam uang dan menjual harta demi pengakuan sosial,” dikutip dalam RCS Journal (Perdana, Hamdi & Ramdani, 2022).

 

Fenomena ini menjadi tantangan karena dapat menggeser esensi awal ngaben: pengabdian suci, bukan pamer status ekonomi.

 

 

Dampak Ekonomi bagi Masyarakat

 

Tidak bisa dipungkiri, ngaben membutuhkan biaya besar. Untuk upacara sederhana (Kanista), biaya bisa mencapai Rp5–15 juta, sementara tingkat tertinggi (Utama) dapat menghabiskan Rp50–70 juta. Menurut hasil penelitian yang sama, “banyak masyarakat yang memaksakan diri hingga berhutang atau menjual harta benda demi pelaksanaan ngaben.”

 

Sebagai solusi, masyarakat Batudawa bersama pemuka adat sering mengadakan ngaben massal agar biaya bisa ditanggung bersama. Upaya ini sekaligus menjaga nilai kebersamaan yang menjadi inti dari ajaran Hindu Bali.

Ngaben adalah warisan budaya yang bukan hanya sakral, tetapi juga sarat dengan nilai moral, kebersamaan, dan spiritualitas. Namun, modernisasi menuntut masyarakat Hindu untuk tetap menjaga esensinya agar ritual ini tidak kehilangan makna.