Gebug Ende, Tradisi Permainan Ritual Memohon Hujan yang Menguji Ketangkasan di Bali Timur

Tradisi turun temurun perang rotan di Desa Seraya
Sumber :
  • https://www.instagram.com/p/CZF6R-DByIQ/?igsh=MWlqd291OGR4dWdmZA==

Tradisi, VIVA Bali –Bali kaya akan tradisi budaya yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari masyarakatnya, salah satunya Gebug Ende atau Gebug Seraya yang tumbuh subur di Desa Seraya, Kabupaten Karangasem. Tradisi ini awalnya merupakan permainan rakyat yang dimainkan oleh kaum laki-laki dari anak-anak hingga dewasa, sekaligus ritual sakral untuk memohon hujan kepada Sang Pencipta saat musim kemarau tiba. Dilaksanakan pada Sasih Kapat (sekitar Oktober-November menurut kalender Bali), Gebug Ende biasanya digelar setelah pulang dari ladang di siang atau sore hari, menjelang musim tanam, dan kini menjadi daya tarik wisata budaya yang autentik bagi pengunjung yang ingin mengenal warisan Bali Timur (karangasemkab.go.id).

Upacara Penti Wae Rebo, Simbol Syukur dan Keharmonisan Alam

Asal-usul Gebug Ende dilansir dari karangasemkab.go.id, berasal dari kata "gebug" yang berarti memukul dan "ende" yang merujuk pada alat penangkis atau tameng. Permainan ini menguji ketangkasan dan kekuatan fisik masyarakat Desa Seraya, yang dikenal tangguh karena geografi daerahnya yang kering dan berbukit. Dua pemain lelaki, baik dewasa maupun anak-anak, saling berhadapan dengan alat utama berupa rotan panjang 1,5-2 meter untuk memukul, serta ende berbentuk lingkaran berdiameter sekitar dua kali panjang siku orang dewasa, terbuat dari kulit sapi kering yang dianyam. Seiring waktu, jumlah peserta semakin berkurang, tetapi tradisi ini tetap lestari sebagai simbol keberanian dan doa kemakmuran, di mana darah yang menetes dari luka dianggap sebagai yadnya tulus yang mempercepat turunnya hujan.

Pelaksanaan Gebug Ende tidak menuntut lahan luas, cukup minimal 6 meter persegi di lapangan desa atau halaman pura dengan permukaan datar, dikelilingi pembatas tali atau bambu untuk keamanan dari penonton. Sebelum dimulai, masyarakat menggelar ritual persembahyangan untuk memohon keselamatan dan manfaat, seperti hujan deras bagi pertanian. Pemain mengenakan kostum sederhana: bertelanjang dada, ikat kepala merah (simbol keberanian), kain perusak, dan saput poleng hitam-putih. Pengiring musik Tabuh Bebondangan yang terdiri dari sepasang kendang, reong, ceng-ceng rincik, dan seruling yang menambah khidmat dan semarak acara. Pembukaan diawali ucapan selamat serta nasihat tentang kejujuran dan sportivitas, dipimpin dua wasit bernama juru kembar atau saye yang mendemonstrasikan gerakan dasar untuk membangkitkan semangat (karangasemkab.go.id).

Tradisi Ajegeh Kobhur, Warisan Budaya Menjaga Kuburan Selama Tujuh Hari

Hingga saat ini, aturan Gebug Ende tetap sederhana untuk menjaga esensi ritualnya, antara lain: pemain hanya boleh memukul dari atas pinggang hingga kepala, permainan berakhir jika satu pihak terdesak, ada garis batas rotan di tengah lapangan yang membagi area menjadi dua, dan durasi sekitar 10 menit tanpa penilaian resmi dari wasit, maka penontonlah yang menentukan pemenang secara intuitif. Acara biasanya dimulai dengan kelompok anak-anak untuk membangun antusiasme, dilanjutkan pria dewasa, diiringi sorak penonton dan irama tabuh yang memuncak. Meski kini sering ditampilkan untuk tujuan komersial seperti festival budaya, tradisi ini tak boleh direkayasa karena dipercaya membawa petaka bagi pemain, menjaga kemurnian sebagai bentuk pengorbanan ikhlas (bulelengkab.go.id).

Selain di Desa Seraya, tradisi serupa juga lestari di Desa Patas, Kabupaten Buleleng, di mana pemain menggunakan perisai bundar dari batang bambu dan tongkat rotan untuk saling "menggebug" sebagai ritual memohon hujan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Pelestarian Gebug Ende menjadi prioritas Pemerintah Desa dan Desa Adat setempat melalui pembinaan Sekeha Ende, ada kelompok sekitar 25 orang yang giat melatih serta dukungan dana Bantuan Keuangan Khusus (BKK) dari Provinsi Bali. Kegiatan semakin sering digelar di acara desa untuk menarik minat masyarakat dan wisatawan, mendorong ekonomi lokal melalui penjualan makanan tradisional dan homestay, serta menciptakan lapangan kerja bagi pemuda sebagai pemandu atau musisi pengiring.

Serba-Serbi Adat Aceh dalam Manuskrip Kuno