Tari Penolak Bala Saat Galungan
- Demi Fink (Pinterest)
Gumi Bali, VIVA Bali – Perayaan Galungan di Bali bukan sekadar momen untuk menghias jalan dengan penjor atau berkumpul bersama keluarga. Namun lebih dari itu, Galungan juga diwarnai dengan berbagai bentuk ekspresi budaya, salah satunya melalui seni tari yang dipercaya mampu menolak bala, atau energi negatif, yang mengganggu keharmonisan.
Tarian Ruwat Sebagai Bentuk Spiritual
Dalam kepercayaan masyarakat Hindu Bali, Galungan adalah hari di mana dharma (kebenaran) menang atas adharma (kejahatan). Untuk menjaga keseimbangan ini, masyarakat menggelar upacara dan pertunjukan tari sakral, seperti Tari Baris Gede, Tari Sanghyang Dedari, atau Tari Topeng Sidakarya.
Tari-tari ini tidak sekadar hiburan. Para penari biasanya dalam keadaan “kerauhan” (trance) dan dipercaya menjadi media penyucian serta pelindung dari gangguan roh jahat atau kekuatan yang tidak diinginkan. Sebelum pertunjukan dimulai, masyarakat melakukan pembersihan dan persembahan kepada para dewa agar tariannya benar-benar sakral.
Penolak Bala yang Hidup di Tengah Tradisi
Tari-tari sakral saat Galungan tidak dilakukan secara sembarangan. Biasanya, hanya penari terpilih dari desa adat yang boleh membawakannya, melalui latihan dan ritual tertentu. Inilah yang membuat tarian penolak bala tidak bisa dilepaskan dari unsur spiritual dan religius masyarakat Bali.
Meskipun dunia modern terus berkembang, pelestarian tari sakral tetap dijaga oleh krama adat dan generasi muda. Mereka memahami bahwa menjaga tradisi ini bukan sekadar tentang budaya, tapi juga tentang menjaga harmoni antara manusia, alam, dan kekuatan spiritual.