Seren Taun, Tradisi Panen Raya Masyarakat Sunda
- https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Seren_Taun_2012_Bogor_A.jpg
Budaya, VIVA Bali – Seren Taun adalah salah satu upacara adat paling penting bagi masyarakat Sunda. Tradisi ini biasanya digelar setiap tahun, tepat setelah panen raya, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil bumi yang melimpah. Di berbagai daerah, seperti Cigugur Kuningan atau Kampung Budaya Sindangbarang di Bogor, Seren Taun tidak hanya menjadi ritual keagamaan, tetapi juga acara sosial yang mempertemukan banyak orang lintas generasi.
Dalam Seren Taun, padi menjadi simbol utama. Padi yang dipanen diarak, kemudian disimpan di lumbung tradisional atau leuit. Simbol ini merepresentasikan penghormatan kepada Nyi Pohaci, Dewi Padi dalam kepercayaan Sunda. Namun, maknanya lebih luas, padi adalah sumber kehidupan. Dengan merayakan Seren Taun, masyarakat seolah menegaskan kembali hubungan erat mereka dengan alam dan sikap rendah hati dalam menjaga keseimbangannya.
Yang menarik, Seren Taun bukan sekadar seremoni ritual. Penelitian dari Jurnal Ilmiah Seni Makalangan menyebutkan bahwa tradisi ini juga berfungsi sebagai pemersatu sosial. Masyarakat yang terlibat bukan hanya petani, tetapi juga seniman, tokoh adat, hingga generasi muda yang ikut serta dalam rangkaian kesenian seperti tari, gamelan, dan pencak silat. Dengan cara ini, Seren Taun menjadi media silaturahmi yang mempererat solidaritas antarwarga.
Seiring berkembangnya zaman, pelestarian Seren Taun menghadapi tantangan. Modernisasi dan perubahan gaya hidup kadang membuat tradisi terasa terpinggirkan. Namun, penelitian dari Informatio: Journal of Library and Information Science menunjukkan bahwa masyarakat Cigugur berhasil memanfaatkan teknologi untuk melestarikan Seren Taun. Dokumentasi melalui media sosial, arsip digital, hingga keterlibatan organisasi budaya membuat tradisi ini tidak hanya bertahan, tetapi juga dikenal lebih luas oleh generasi muda.
Seren Taun pun menjadi bukti bahwa tradisi bukan sesuatu yang kaku. Ia bisa beradaptasi tanpa kehilangan nilai aslinya. Ritual syukur kepada Tuhan tetap menjadi inti, tetapi ekspresinya bisa berkembang sesuai konteks zaman. Misalnya, di era sekarang, Seren Taun tidak hanya diramaikan dengan doa dan seni tradisi, tetapi juga diskusi budaya, pameran, bahkan festival yang mengundang wisatawan.
Pada akhirnya, Seren Taun adalah cermin filosofi hidup orang Sunda, menjaga harmoni dengan alam, mensyukuri hasil kerja, dan memperkuat ikatan sosial. Tradisi ini mengingatkan kita bahwa rasa syukur tidak hanya ditunjukkan secara individual, tetapi juga kolektif. Dalam kebersamaan, masyarakat menemukan kekuatan untuk menjaga identitas dan warisan leluhur mereka.