Menjaga Syahdu Kelong di Lingkup Budaya Makassar
- https://unsplash.com/id/foto/bxgu71-4JCw?utm_content=creditShareLink&utm_medium=referral&utm_source=unsplash
Budaya, VIVA Bali –Di setiap sudut kampung di Sulawesi Selatan, suara orang tua yang melantunkan kelong masih bisa terdengar. Bait-baitnya singkat, namun sarat makna, ibarat pantun yang lahir dari napas masyarakat Makassar. Bagi sebagian orang muda, kelong mungkin hanya sebait lagu lama. Namun bagi masyarakat Makassar, ia adalah warisan budaya yang merekam pengalaman, nasihat, dan pandangan hidup.
Jurnal penelitian Muhammad Ali menekankan bahwa kelong tidak sekadar karya sastra, melainkan media komunikasi sosial dan kultural. Melalui pendekatan hermeneutika, peneliti membedah makna di balik struktur kelong, yang sering kali menyimpan pesan moral, sindiran halus, maupun doa untuk kesejahteraan. Dalam tulisannya, disebutkan secara tidak langsung bahwa setiap bait kelong memuat simbol yang berfungsi membimbing masyarakat memahami kehidupan sehari-hari.
Ritme Hidup dalam Bait-Bait Lisan
Kelong biasanya disampaikan dengan nada berulang dan ritmis. Pola itu bukan tanpa alasan, ia memudahkan orang untuk mengingat, sekaligus membuat pesan moral lebih melekat di benak pendengar. Menurut penelitian, kelong bukan hanya teks puitis, melainkan juga pertunjukkan. Di mana ia hidup dalam lantunan, dalam cara masyarakat menuturkannya di pesta adat, pernikahan, hingga ritual penyambutan tamu.