Arifnya Budaya Tutur Bajo di Hadapan Gelung Lautan

Laut, cerita, dan manusianya
Sumber :
  • https://unsplash.com/id/foto/seorang-pria-menyelam-ke-air-dari-dermaga-WneQBvuPaJY?utm_content=creditShareLink&utm_medium=referral&utm_source=unsplash

Budaya, VIVA Bali –Di perairan Halmahera, ketika senja jatuh di garis cakrawala, suku Bajo kerap berkumpul di sekitar perahu atau di beranda rumah panggung mereka. Suara ombak yang memecah keheningan malam sering menjadi latar bagi kisah-kisah lama yang diwariskan dari mulut ke mulut. Di situlah sastra lisan hidup. Bisa dalam nyanyian, dongeng, dan mantra yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mengajarkan cara hidup yang seimbang di tengah lautan.

Menjaga Syahdu Kelong di Lingkup Budaya Makassar

 

Penelitian Sulmi Magfirah dan Tim menegaskan bahwa tradisi tutur suku Bajo adalah warisan penting yang merekam identitas sekaligus nilai-nilai luhur mereka. Sastra lisan berfungsi sebagai sarana pendidikan moral, media penguat ikatan sosial, dan refleksi pandangan dunia masyarakat Bajo. Para peneliti menjelaskan secara tidak langsung bahwa tanpa kisah-kisah lisan, generasi muda akan kehilangan kompas budaya yang membimbing arah hidup mereka.

Menguak Makna Tiwah, Upacara Kematian Agung Suku Dayak Ngaju

 

Laut sebagai Panggung Cerita

Maccera Tappareng, Ritual Tahunan Masyarakat Bugis di Danau Tempe

 

Bagi suku Bajo, laut bukan sekadar ruang ekonomi, tetapi panggung kehidupan. Cerita-cerita lisan mengajarkan bagaimana memperlakukan laut dengan penuh hormat. Ada kisah yang menegur orang yang serakah mengambil hasil laut, karena laut dipercaya memiliki kekuatan untuk menyeimbangkan dirinya sendiri. “Sastra lisan menjadi media yang menanamkan kesadaran ekologis,” ungkap penelitian itu secara tidak langsung. Nilai ekologis ini kini relevan ketika praktik eksploitasi sumber daya laut semakin masif di era modern.

Halaman Selanjutnya
img_title