Mengulik Nilai Spiritual dalam Tradisi Ruwatan

Ilustrasi pelaksanaan upacara adat Ruwatan masyarakat Jawa.
Sumber :
  • https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Pembawa_Sesaji_Ruwatan_Nusantara_2019.jpg

Budaya, VIVA Bali – Ruwatan adalah salah satu tradisi adat Jawa yang penuh makna. Upacara ini biasanya dilakukan untuk “membersihkan” seseorang atau sekelompok orang dari pengaruh negatif atau malapetaka yang diyakini bisa mengganggu kehidupan mereka. Meski terdengar sakral, Ruwatan tidak hanya soal ritual, tetapi juga menekankan nilai sosial dan kebersamaan dalam masyarakat.

Pasar Ekstrem Tomohon, Antara Tradisi, Kontroversi, dan Daya Tarik Wisata

Secara historis, Ruwatan lahir dari filosofi Jawa tentang harmoni antara manusia, alam, dan roh. Menurut penelitian yang diterbitkan oleh Jurnal Makara Sosial Humaniora, upacara ini dianggap sebagai jalan untuk menyeimbangkan energi seseorang yang dianggap kurang beruntung atau memiliki nasib sial. Tidak jarang, Ruwatan dilakukan pada anak-anak yang lahir dengan tanda tertentu, atau orang dewasa yang menghadapi ujian berat dalam hidup. Upacara ini menegaskan bahwa masyarakat Jawa memandang kehidupan sebagai suatu kesatuan yang tidak terpisahkan antara spiritualitas, sosial, dan alam.

Selain makna spiritual, Ruwatan juga berfungsi sebagai pengikat sosial. Penelitian dari Jurnal At-Tuhfah: Jurnal Studi Keislaman menekankan bahwa masyarakat yang menjalankan upacara ini secara kolektif justru memperkuat solidaritas antarwarga. Orang-orang berkumpul, saling membantu dalam persiapan dan pelaksanaan ritual, serta ikut merayakan keberhasilan mereka melalui doa, tari, dan musik tradisional. Dengan begitu, Ruwatan bukan sekadar ritual pribadi, tetapi menjadi momen yang memperkuat hubungan sosial dan kultural di komunitas.

Keindahan Tari Gambyong, Simbol Kelembutan Perempuan Jawa

Di era modern, praktik Ruwatan tetap lestari, meski banyak masyarakat telah memeluk agama Islam. Dalam konteks ini, Ruwatan menjadi contoh akulturasi budaya, di mana tradisi Jawa dan nilai-nilai agama saling melengkapi. Ritual yang dulunya sarat animisme kini diselaraskan dengan ajaran agama tanpa menghilangkan makna asli tradisi. Hasilnya, Ruwatan tetap relevan dan diterima oleh generasi muda, yang bisa melihatnya sebagai bentuk pelestarian identitas budaya sekaligus refleksi spiritual.

Ruwatan juga menarik karena menggabungkan berbagai elemen seni dan simbol. Misalnya, penggunaan wayang, gamelan, dan sesaji bukan sekadar hiasan, tetapi simbolisasi untuk menolak bala, mengundang berkah, dan menegaskan hubungan manusia dengan Tuhan serta alam. Penekanan pada simbol-simbol ini membuat Ruwatan mudah dipahami dan dinikmati, bahkan oleh mereka yang tidak terlalu mendalami filsafat Jawa.

Sisingaan Subang, Simbol Perlawanan dan Persatuan Warga

Secara keseluruhan, Ruwatan adalah tradisi yang kaya makna, menggabungkan spiritualitas, filosofi, dan aspek sosial dalam satu kesatuan. Ia mengajarkan masyarakat tentang pentingnya menjaga harmoni, mensyukuri hidup, dan saling mendukung dalam komunitas. Dengan pelestarian yang tepat, Ruwatan akan tetap hidup sebagai warisan budaya yang relevan di tengah perubahan zaman, mengingatkan kita bahwa tradisi tidak hanya tentang ritual, tetapi juga tentang identitas dan kebersamaan.