Rumput Laut Lembongan, Tradisi yang Terus Mengakar di Tengah Tantangan Zaman
- Firli Nurlatifah/ VIVA Bali
Gumi Bali, VIVA Bali – Di tengah geliat pariwisata yang semakin pesat di Nusa Lembongan, tradisi budidaya rumput laut masih menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat pesisir. Aktivitas ini tidak hanya menjadi sumber ekonomi utama selama lebih dari tiga dekade, tetapi juga merepresentasikan kearifan lokal dan keseimbangan hubungan antara manusia dan laut.
Rumput laut jenis Eucheuma cottonii telah dibudidayakan secara turun-temurun oleh warga di kawasan pesisir, terutama di Desa Lembongan dan Jungutbatu. Dengan teknik tradisional yang memanfaatkan perairan dangkal, masyarakat mampu menghasilkan rata-rata 1,2 ton rumput laut kering per hektar dalam satu siklus tanam 45 hari. Hasil panen kemudian dijual untuk industri pangan, kosmetik, hingga farmasi, baik untuk pasar lokal maupun ekspor.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Klungkung tahun 2022, Nusa Lembongan dihuni oleh sekitar 5.000 jiwa. Mayoritas dari mereka bekerja di sektor kelautan dan pariwisata, dengan sekitar 72% keluarga pesisir bergantung pada aktivitas maritim, termasuk budidaya rumput laut.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, sektor ini menghadapi berbagai tantangan struktural. Laporan analisis spasial tahun 2023 menunjukkan bahwa 28% lahan budidaya telah beralih fungsi menjadi kawasan wisata, seiring dengan meningkatnya pembangunan resort, pelabuhan, dan fasilitas penunjang wisata lainnya. Selain itu, pencemaran perairan akibat limbah domestik dan aktivitas kapal wisata menyebabkan penurunan kualitas air laut hingga 40% dalam lima tahun terakhir.
Tak hanya itu, 65% petani rumput laut melaporkan menurunnya kualitas bibit akibat perubahan kimia air laut dan sedimentasi. Penurunan produktivitas mencapai rata-rata 15% per tahun sejak 2018. Kondisi ini mendorong petani untuk meningkatkan frekuensi perawatan dan biaya operasional hingga 30%, mengurangi margin keuntungan secara signifikan.
Di sisi lain, sektor pariwisata terus menunjukkan pertumbuhan pesat dengan kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Klungkung mencapai 58%, menarik banyak tenaga kerja dari sektor kelautan, terutama generasi muda. Fenomena ini memunculkan kekhawatiran akan keberlangsungan tradisi budidaya rumput laut di masa mendatang.
Meski demikian, masyarakat setempat belum menyerah. Sejumlah inisiatif dilakukan, seperti pengembangan wisata edukatif berbasis budidaya rumput laut, promosi produk olahan lokal, serta pelatihan teknik budidaya berkelanjutan. Beberapa kelompok petani juga mulai mendorong penguatan kelembagaan dan zonasi wilayah budidaya yang terlindungi dari ekspansi wisata.