Ogoh-Ogoh, Dari Ritual Sakral ke Spektakel Modern
- https://www.istockphoto.com/id/search/2/image-film?phrase=ogoh+ogoh++foto
Adat, VIVA Bali –Di setiap ujung jalan desa-desa di Bali, menjelang malam Pengerupukan sebelum Nyepi, suasana riuh terdengar bunyi gamelan baleganjur, teriakan semangat para pemuda, dan di atas pundak mereka, berdiri kokoh sebuah boneka raksasa yang dikenal bernama ogoh-ogoh. Namun siapa sangka, boneka yang dulunya sekadar simbol pengusir roh jahat, kini telah berevolusi menjadi karya seni spektakuler yang memukau, bahkan mengundang decak kagum wisatawan mancanegara.
Bagaimana perjalanan ogoh-ogoh dari tradisi kuno menuju bentuk modern yang sarat inovasi? Mari kita telusuri lebih dekat.
Awal Mula Ogoh-Ogoh Sebagai Simbol Bhuta Kala
Tradisi ogoh-ogoh mulai dikenal secara luas di Bali sejak tahun 1980-an, meskipun akar simboliknya sudah jauh lebih tua. Dalam ajaran Hindu Dharma, ogoh-ogoh melambangkan Bhuta Kala yaitu unsur negatif atau kekuatan destruktif alam semesta. Bhuta Kala diyakini harus “dimurnikan” agar keseimbangan dunia terjaga. Oleh karena itu, sehari sebelum Nyepi, warga akan mengarak ogoh-ogoh keliling desa sambil membunyikan tetabuhan keras untuk mengusir roh-roh jahat.
Pada masa-masa awal, ogoh-ogoh dibuat dari bambu, kertas, dan cat sederhana. Tidak ada detail yang rumit atau aksesori mencolok. Fungsinya murni ritual, selesai diarak, ogoh-ogoh akan dibakar sebagai simbol pemusnahan kejahatan.
Evolusi Bentuk, Antara Seni dan Tradisi
Seiring waktu, kreativitas warga mulai mewarnai bentuk ogoh-ogoh. Pada 1980-an dan 1990-an, muncul lomba ogoh-ogoh antarbanjar. Dari sinilah titik balik bermula: ogoh-ogoh tak hanya dibuat untuk upacara, tapi juga diperlombakan. Hasilnya, warga mulai berlomba-lomba menciptakan ogoh-ogoh yang semakin detail, realistis, dan spektakuler.
Kini, ogoh-ogoh hadir dalam berbagai tema yaitu Mitologi Hindu seperti Rangda, Barong, Hanoman, Rahwana. Kritik Sosial seperti korupsi, narkoba, kerusakan lingkungan. Budaya Pop seperti tokoh film, anime, bahkan superhero (meski sering menuai perdebatan di kalangan adat).
Transformasi ogoh-ogoh juga terjadi pada bahan. Dahulu hanya bambu, kayu, kertas, kini para pembuat ogoh-ogoh menggunakan styrofoam, resin, fiber, bahkan 3D printing. Hasilnya? Tubuh ogoh-ogoh tampak jauh lebih detail, dari guratan otot, kerutan wajah, hingga rambut yang berkibar.
Tidak berhenti di sana, teknologi juga masuk. Banyak ogoh-ogoh modern dilengkapi mesin hidrolik agar bisa menggerakkan tangan atau kepala, pencahayaan LED untuk mata menyala, hingga pengeras suara untuk efek suara dramatis. Parade ogoh-ogoh kini serasa sebuah pertunjukan teater raksasa di jalanan.
Ruang Kreativitas Anak Muda
Di balik megahnya ogoh-ogoh, tersimpan makna sosial yang tak kalah penting. Proses pembuatan ogoh-ogoh sering melibatkan anak muda di banjar, membangun kebersamaan, kerja sama, dan kreativitas.
Bagi generasi muda Bali, ogoh-ogoh bukan sekadar warisan leluhur, tetapi juga ajang mengekspresikan diri. Banyak di antara mereka yang belajar teknik melukis, memahat, bahkan merakit mesin berkat terlibat dalam tim ogoh-ogoh. Tak jarang, komunitas ogoh-ogoh bekerja sama dengan seniman profesional untuk belajar teknik baru.
Daya Tarik Global
Parade ogoh-ogoh kini menjadi magnet wisata yang mendunia. Turis-turis dari Eropa, Australia, dan Asia rela datang lebih awal sebelum Nyepi hanya untuk menyaksikan pawai ogoh-ogoh di Denpasar, Ubud, atau Kuta. Media sosial pun ikut mengangkat pamor ogoh-ogoh, foto-foto parade tersebar viral di Instagram dan TikTok, mengundang rasa kagum sekaligus penasaran.
Namun, di tengah gegap gempita itu, ada suara yang mengingatkan agar jangan sampai unsur hiburan mengalahkan nilai sakral ogoh-ogoh. Beberapa pemimpin adat mengingatkan agar warga tetap mengutamakan makna spiritual, bukan sekadar mengejar popularitas.
Tantangan dan Masa Depan
Tantangan terbesar ogoh-ogoh modern adalah biaya. Sebuah ogoh-ogoh berukuran besar dengan teknologi canggih bisa menelan biaya Rp 20 juta hingga Rp 50 juta. Tak semua banjar mampu menggalang dana sebesar itu, apalagi di desa-desa kecil.
Ke depan, para seniman berharap ada dukungan lebih besar, baik dari pemerintah maupun swasta, untuk menjaga kelangsungan tradisi ini. Di sisi lain, penting juga untuk membimbing generasi muda agar tetap memegang teguh nilai-nilai budaya di tengah arus modernisasi.
Ogoh-ogoh adalah cermin Bali, sebuah wilayah yang mampu memadukan tradisi kuno dengan inovasi modern tanpa kehilangan jati diri. Boneka raksasa ini bukan hanya pengusir roh jahat, tetapi juga simbol kreativitas, kebersamaan, dan semangat menjaga keseimbangan alam dan sosial.
Setiap kali ogoh-ogoh itu diarak di jalanan, sesungguhnya kita sedang menyaksikan bukan hanya parade, tapi juga perjalanan panjang budaya Bali yang terus hidup dan berkembang.