Melukat, Antara Penyucian Diri, Tren Healing, dan Warisan Budaya Bali

Melukat, berawal dari tradisi kini menjadi tren bagi para turis
Sumber :
  • https://www.istockphoto.com/id/search/2/image-film?phrase=pura+tirta+empul+foto

Gumi Bali, VIVA Bali –Di era yang serba cepat, saat stres dan kejenuhan menjadi “penyakit umum”, manusia modern terus mencari cara untuk kembali menemukan ketenangan.

Kenapa Babi Guling Punya Peran Penting di Upacara Keagamaan Bali?

Salah satu fenomena menarik yang mencuat beberapa tahun terakhir adalah melukat, ritual pembersihan diri khas Bali yang kini bukan hanya praktik keagamaan, tetapi juga menjadi bagian dari tren healing dan wisata spiritual.

Fenomena ini tidak hanya melibatkan masyarakat lokal, tapi juga menarik perhatian wisatawan domestik, turis mancanegara, bahkan para selebritas yang ingin mencari “detoks jiwa” di Pulau Dewata. Namun di balik popularitasnya, melukat menyimpan sejarah, makna, dan nilai budaya yang tidak boleh diabaikan. 

Mengenal Melukat, Ritual Penyucian Diri

Mengenal Tradisi Mebat, Kebersamaan Lelaki Bali Dalam Masakan Adat

Kata melukat berasal dari bahasa Kawi, yaitu lukat, yang berarti membersihkan atau melepaskan. Dalam kepercayaan masyarakat Hindu Bali, melukat adalah salah satu bentuk upacara pembersihan diri secara lahir dan batin. Ritual ini dipercaya mampu menghilangkan pengaruh buruk, membersihkan aura negatif, mengusir kesialan, bahkan menyembuhkan penyakit nonmedis.

Melukat biasanya menggunakan air suci yang disebut tirta. Air ini diambil dari mata air atau sumber yang telah disucikan melalui doa dan ritual oleh para pemangku atau sulinggih (pendeta). Tidak semua orang bisa memimpin prosesi ini, karena ada rangkaian doa dan persembahan yang harus dilakukan sesuai aturan adat dan agama. 

Sejarah dan Filosofi di Balik Melukat

Mengenal Kain Poleng Bali dan Perbedaannya dengan Kamen

Dalam filosofi Hindu Bali, manusia hidup berdampingan dengan kekuatan alam dan roh-roh leluhur. Oleh karena itu, ketidakseimbangan dalam hidup, entah karena perbuatan, pikiran, atau pengaruh luar diyakini bisa mencemari tubuh dan jiwa. Melukat hadir sebagai upaya pemulihan keseimbangan tersebut.

Air suci memegang makna penting, karena bukan hanya membersihkan secara fisik tetapi juga menyimbolkan penyucian rohani. Pancuran air yang mengenai kepala, wajah, dan tubuh dalam ritual melukat dipercaya membantu melepas beban batin, amarah, kesedihan, atau energi negatif yang menempel. 

Dari Sakral ke Tren Populer

Dalam beberapa dekade, melukat mengalami transformasi dari ritual sakral menjadi fenomena sosial yang menarik minat banyak orang. Media sosial berperan besar dalam mendorong tren ini.

Foto-foto selebritas, influencer, atau wisatawan yang berdiri khidmat di bawah pancuran Pura Tirta Empul, berbalut kain putih, tersebar di Instagram, TikTok, dan YouTube. Narasi yang menyertainya pun tak kalah menarik, mulai dari “menemukan kedamaian,” “melepaskan trauma,” hingga “memulai hidup baru.”

Bali sebagai destinasi wisata spiritual pun semakin kuat citranya. Tak hanya yoga dan meditasi, melukat kini masuk daftar aktivitas wajib bagi wisatawan yang ingin merasakan pengalaman “pembersihan diri”. Pura-pura yang dulu hanya dikunjungi umat Hindu kini membuka diri untuk tamu non-Hindu, meski tetap dengan batasan dan aturan adat. 

Tempat Populer untuk Melukat

Beberapa lokasi yang paling terkenal untuk ritual melukat antara lain:

- Pura Tirta Empul, Tampaksiring. Situs paling populer, terkenal dengan 30 pancuran air suci yang masing-masing memiliki makna tersendiri.

- Pura Tirta Sudamala, Bangli.Terletak di tepi sungai dengan suasana lebih tenang dan asri.

- Pura Mengening, Gianyar. Tempat yang lebih sakral dan sering dipilih oleh warga lokal untuk melukat secara pribadi.

- Tirta Taman Mumbul, Sangeh. Sumber mata air yang digunakan masyarakat sekitar untuk ritual pembersihan. 

Proses dan Tahapan Melukat

Ritual melukat tidak sekadar datang dan membasahi diri. Ada tahapan yang harus diikuti, di antaranya:

1. Persembahyangan. Membawa canang sari (persembahan bunga dan dupa) untuk menghaturkan doa kepada Sang Hyang Widhi.

2. Dipandu pemangku. Pemangku atau sulinggih akan membacakan doa, memercikkan air suci, dan memandu peserta dalam alur ritual.

3. Penyucian dengan tirta. Peserta berdiri di bawah pancuran sambil memanjatkan doa pribadi, biasanya dimulai dari pancuran paling kiri.

4. Penutup. Setelah selesai, peserta kembali berdoa dan memercikkan air suci ke wajah dan kepala. 

Dampak Sosial dan Kekhawatiran

Meski memberi manfaat spiritual dan ketenangan mental, tren melukat juga memunculkan kekhawatiran. Beberapa pemangku adat khawatir makna sakral ritual ini tergerus oleh praktik wisata massal. Ada yang datang hanya untuk foto atau video, tidak memahami makna atau tata cara yang benar.

Di sisi lain, masyarakat lokal melihat peluang ekonomi dari maraknya wisata spiritual ini, mulai dari penyewaan kain hingga pemandu ritual. Namun mereka juga terus menekankan pentingnya edukasi agar wisatawan tidak sekadar menjadikan melukat sebagai hiburan. 

Melukat dan Kesehatan Mental

Psikolog menilai ritual seperti melukat bisa membantu proses relaksasi, refleksi diri, bahkan berfungsi sebagai terapi nonklinis. Proses simbolisasi pembersihan dan pelepasan beban batin ini dapat memberikan efek psikologis positif, meski tentu bukan pengganti pengobatan medis atau psikoterapi.

“Ritual ini membantu orang merasa diperbarui, seperti mendapat kesempatan kedua,” ujar Dr. Made Wirata, psikolog dari Denpasar. Di zaman serba cepat, momen untuk berhenti sejenak, merefleksi diri, sangat penting untuk kesehatan mental. 

Etika Mengikuti Melukat

Bagi wisatawan atau siapa pun yang ingin mencoba melukat, penting untuk menghormati aturan lokal dengan mengeenakan pakaian sopan (sarung dan selendang wajib), jangan berisik atau tertawa selama ritual, matikan ponsel atau minimal hindari penggunaan selama prosesi, ikuti instruksi pemangku dan jangan abaikan makna spiritual ritual ini. 

Melukat bukan hanya ritual penyucian diri, tetapi cermin dari kekayaan budaya Bali yang sarat makna. Di tengah popularitasnya, penting bagi siapa pun yang tertarik mencoba untuk memahami dan menghormati tradisi ini.

Jadikan melukat bukan sekadar konten media sosial, tetapi kesempatan untuk belajar, merenung, dan memperkaya pengalaman hidup.