Makna Lontar Kanda Pat Sari dan Ajaran Catur Sanak dalam Tradisi Bali

Tradisi Catur Sanak menjadi wujud nyata nilai kehidupan.
Sumber :
  • https://unsplash.com/id/foto/wanita-berjalan-di-taman-YMnwxa1bYS0

Budaya, VIVA Bali – Bali memiliki kekayaan tradisi lisan dan naskah lontar yang sarat makna filosofis. Salah satunya adalah Lontar Kanda Pat Sari, sebuah teks kuno yang menyingkap hubungan erat antara manusia dengan kekuatan spiritual yang menyertainya sejak lahir hingga meninggal. Lontar ini menegaskan bahwa setiap manusia tidak pernah hidup sendiri, melainkan ditemani oleh empat saudara gaib yang dikenal dengan sebutan Catur Sanak atau Kandapat.

Wayang Timplong, Kesenian Kayu Sederhana Nganjuk yang Bangkit dari Ancaman Kepunahan

Secara etimologis, kata kanda berarti petuah atau wejangan, pat bermakna empat, dan sari menunjukkan inti. Dengan demikian, Kanda Pat Sari dapat diartikan sebagai “empat petuah inti” yang mengajarkan keseimbangan hidup melalui pengenalan terhadap empat unsur gaib yang melekat pada diri manusia.

Dalam teks ini dijelaskan, sejak dalam kandungan seorang bayi sudah ditemani oleh saudara spiritualnya. Keempat unsur itu secara fisik diwujudkan dalam bentuk air ketuban (yeh nyom), darah (getih/rah), selaput atau lemak (lamas), serta ari-ari (plasenta).

Romansa dalam Nada, Sejarah dan Perkembangan Musik Keroncong

Unsur-unsur tersebut kemudian dimaknai sebagai kekuatan gaib pelindung manusia yang dikenal dengan nama Anggapati, Mrajapati, Banaspati, dan Banaspati Raja.

Konsep Catur Sanak memiliki peran ganda dalam kehidupan. Di satu sisi, mereka diyakini sebagai pelindung yang menjaga manusia dari bahaya, baik yang terlihat maupun tidak.

Serunya Balapan Kerbau Makepung, Warisan Budaya Bali

Namun di sisi lain, jika manusia lalai menjaga keseimbangan spiritual, Catur Sanak juga bisa menghadirkan tantangan berupa sakit atau gangguan batin.

Hal ini menunjukkan bahwa manusia selalu berada di antara dua dimensi: sekala (nyata, fisik) dan niskala (gaib, tak kasat mata). Lontar Kanda Pat Sari mengingatkan pentingnya menjaga keselarasan kedua dimensi tersebut agar kehidupan dapat berjalan harmonis.

Sejumlah tradisi Bali menjelaskan bahwa Catur Sanak menyertai manusia sejak dalam kandungan, kemudian melekat erat hingga bayi lahir. Pada saat tali pusar dipotong, hubungan fisik dengan unsur-unsur ini memang berakhir, namun ikatan spiritual tetap ada.

 Dalam kepercayaan masyarakat Bali, hari ke-42 setelah kelahiran dianggap sebagai momen penting. Pada masa ini biasanya dilakukan upacara tertentu yang menandai adaptasi spiritual bayi dengan dunia barunya, sekaligus penghormatan kepada Catur Sanak yang selalu mendampingi.

Selain itu, ritual menanam ari-ari menjadi bagian penting dalam ajaran ini. Ari-ari yang dianggap sebagai bagian dari Catur Sanak akan diperlakukan dengan hormat, ditanam secara khusus, dan sering disertai sesajen. Ritual tersebut menegaskan keyakinan bahwa ari-ari bukan sekadar organ biologis, melainkan bagian dari saudara gaib yang harus dihargai.

Lontar Kanda Pat Sari dan konsep Catur Sanak tidak hanya berfungsi dalam ranah ritual, tetapi juga mengandung filosofi kehidupan. Ia menekankan bahwa manusia senantiasa dikelilingi oleh energi spiritual yang dapat menjadi penuntun moral, pemberi keseimbangan, sekaligus pengingat agar manusia tidak hanya mengandalkan jasmani, melainkan juga batin dan rohani.

Dalam kehidupan kontemporer, pemahaman tentang ajaran ini bisa menjadi refleksi bagi masyarakat modern: untuk menjaga keselarasan diri, menghormati alam, dan mengingat kehadiran kekuatan ilahi dalam setiap fase kehidupan.