Menjelajahi Kedalaman Budaya Candi Agung Amuntai, Jejak Hindu di Tanah Banjar
- https://atourin.com/destination/hulu-sungai-utara/candi-agung
Wisata, VIVA Bali – Jauh di pedalaman Kalimantan, di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), berdiri sebuah situs yang menjadi saksi bisu peradaban kuno: Candi Agung Amuntai. Situs ini bukan hanya tumpukan batu bata purbakala, melainkan sebuah gerbang untuk menjajaki budaya Kerajaan Negara Dipa yang menjadi cikal bakal Kesultanan Banjar. Keberadaannya membuktikan bahwa Kalimantan Selatan memiliki sejarah Hindu-Buddha yang kaya, sezaman dengan era keemasan Majapahit di Jawa pada abad ke-14 Masehi.
Cikal Bakal Kerajaan Negara Dipa
Menurut berbagai sumber sejarah dan hikayat, Candi Agung Amuntai diyakini merupakan peninggalan utama dari Kerajaan Negara Dipa Kahuripan, yang didirikan oleh seorang saudagar kaya dari Keling (sebuah wilayah yang terkait dengan Jawa) bernama Empu Jatmika sekitar abad ke-14 M. Lokasinya sangat strategis, berada di persimpangan tiga sungai utama (Sungai Tabalong, Sungai Balangan, dan Sungai Negara) yang semuanya bermuara ke Sungai Barito.
Candi ini mulanya berfungsi sebagai pusat keagamaan dan pemerintahan. Meskipun kini yang tersisa hanyalah fondasi dan tumpukan batu bata kuno yang kokoh, situs ini telah mengungkap sejumlah artefak purbakala, seperti fragmen kepala kala, pecahan tembikar, dan manik-manik, yang beberapa di antaranya bahkan diperkirakan berasal dari tahun 200 SM, menunjukkan bahwa area tersebut telah dihuni sejak masa prasejarah.
Akulturasi Budaya Jawa dan Kalimantan
Budaya yang melingkupi Candi Agung Amuntai adalah perpaduan unik antara tradisi dari Jawa dan Kalimantan. Empu Jatmika yang berasal dari Jawa dikisahkan memerintah Negara Dipa dengan meniru pola pemerintahan Majapahit, termasuk dalam ekspansi wilayah dan penggunaan undang-undang.
Akulturasi ini mencapai puncaknya melalui legenda pendirian kerajaan. Setelah Empu Jatmika turun takhta, Lambung Mangkurat diangkat sebagai Patih. Lambung Mangkurat kemudian melakukan pertapaan dan berhasil memunculkan seorang putri dari buih sungai (legenda air dan langit), yang dikenal sebagai Putri Junjung Buih. Putri ini kemudian dinobatkan sebagai Ratu Negara Dipa dan menikah dengan Maharaja Suryanata, seorang Pangeran yang didatangkan dari Majapahit. Kisah ini sarat dengan simbolisme Hindu-Jawa yang bertemu dengan kepercayaan lokal Kaharingan (simbol persatuan langit dan air), menjadikannya narasi kultural yang kaya di Tanah Banjar.