Wayang Timplong, Kesenian Kayu Sederhana Nganjuk yang Bangkit dari Ancaman Kepunahan

Seni wayang khas Nganjuk yang langka dan nyaris punah
Sumber :
  • https://nsc.nganjukkab.go.id/detail_heeh/MTg=

Budaya, VIVA Bali – Jawa Timur menyimpan beragam kesenian tradisional yang mencerminkan kearifan lokal, dan Wayang Timplong menjadi salah satu permata tersembunyi dari Kabupaten Nganjuk. Lahir di Desa Jetis, Kecamatan Pace, kesenian ini diciptakan pada tahun 1910 oleh Mbah Bancol sebagai hiburan unik, terinspirasi wayang klithik yang populer saat itu. Dengan wayang kayu polos dan gamelan bambu yang menghasilkan suara "plong-plong", Wayang Timplong menawarkan pertunjukan siang hari yang egaliter, tanpa hirarki rumit seperti wayang kulit. Kini, dari hiburan rakyat menjadi ritual bersih desa dan tolak bala, kesenian ini melestarikan cerita Panji serta legenda lokal di tengah ancaman modernisasi (nganjukkab.go.id).

Serunya Balapan Kerbau Makepung, Warisan Budaya Bali

Asal-usul Wayang Timplong dilansir dari wikipedia.org dan kemendikdasmen.go.id, berawal dari kegemaran Mbah Bancol masa kecil menonton wayang klithik, mendorongnya menciptakan varian baru di Dusun Kedung Bajul, Desa Jetis. Nama "Timplong" muncul dari bunyi gamelan pengiring, gambang bambu/kayu yang berdering "thing-thong" dan kenong "plong" sehingga masyarakat menyebutnya demikian. Disebut juga wayang kricik (dari suara gesekan) atau wayang gung (dari gong kecil kempul). Berbeda dari wayang krucil atau klithik, Timplong lebih sederhana: wayang dari kayu mentaos, waru, atau pinus; badan polos tanpa ukiran seperti wayang kulit; tangan dari kulit sapi. Pertunjukan tanpa kelir penuh, penonton lihat wajah dalang, dan iringan musik minimalis: gambang, kendang, kenong, ketuk, serta kempul semua tanpa pesinden, narasi bergantung suara dalang dan gamelan (indonesiakaya.com).

Pelaksanaan Wayang Timplong biasanya siang hari, dibawakan satu dalang didampingi lima panjak musik, dengan sekitar 70 tokoh: manusia, binatang, senjata. Pakem sembilan tokoh utama seperti Ksatria, Panji, Putri Sekartaji, Ratu, Patih, Tumenggung, Satria Muda/Sepuh dengan latar kerajaan Kediri, Majapahit, Jenggala. Punakawan ikonik: Kedrah dan Gethik Miri. Cerita utama dari lakon Panji, seperti Babad Kediri, Asmoro Bangun, Panji Laras Miring, Jaka Umbaran, Dewi Galuh, sarat pesan moral tentang kebijaksanaan dan dinamika sosial. Kelir kain putih berplipit hitam punya lubang untuk tangan dalang; pembuka/penutup gunungan berbentuk burung merak dan golekan. Warna wajah hitam/putih bedakan karakter, mencerminkan masyarakat Nganjuk yang egaliter sejak Prasasti Anjuk Ladang 937 M, hadiah Mpu Sindok atas jasa rakyat lawan Sriwijaya, jadikan 10 April Hari Jadi Nganjuk (wikipedia.org).

Nilai Spiritualitas dalam Tradisi Sakral Ngurek Bali

Hingga kini, Wayang Timplong berevolusi dari hiburan desa menjadi elemen ritual, dipentaskan di bersih desa, sadranan, ruwatan, tolak bala, atau pelepasan nazar terutama di pedesaan Nganjuk. Puncak kejayaan 1970-1980an, tapi kemajuan teknologi geser popularitasnya hingga hampir punah. Keahlian mendalang diwariskan turun-temurun: Mbah Bancol ke Darto Dono, Ki Karto Jiwul, Ki Tawar, Ki Gondo Maelan dimana sejak saat itu tak lagi garis keturunan langsung. Meski sederhana, kesenian ini pertahankan esensi budaya egaliter Nganjuk, jauh dari pusat kekuasaan Hindu-Buddha atau Islam, dan kini hanya sesekali digelar untuk seremoni adat.

 

Liang Liong Tari Naga Penuh Energi yang Melambangkan Persatuan dan Keberagaman