Meski Tak Melihat, Yuni Lestari Lahirkan Karya Sastra yang Mumpuni

Peluncuran buku para penulis Bali di Gedung Kerta Sabha, Denpasar
Sumber :
  • Sumber foto: Dok. Humas Pemprov Bali/ VIVA Bali

Denpasar, VIVA BaliDi tengah gemerlap peluncuran tujuh buku karya sembilan penulis di Gedung Kertha Sabha, Denpasar pada Sabtu 10 Mei 2025, satu nama mencuri perhatian yakni Ni Komang Yuni Lestari. Penyandang disabilitas netra ini membuktikan bahwa keterbatasan fisik bukanlah penghalang untuk menorehkan tinta dan melahirkan karya sastra yang mampu menyentuh hati banyak orang di Bali.

Jadwal Ubud Writers and Readers Festival 2025 dan Temanya

 

Ni Komang Yuni Lestari, penulis penyandang disabilitas netra

Photo :
  • Sumber foto: Dok. Instagram @komang_yuni_
Menikmati Wisata Keindahan Alam melalui Paralayang Bukit Timbis Bali

 

Buku kumpulan cerpennya, ‘Alia Tahu Semua Dosa Laki-Laki’, menjadi salah satu dari tujuh buku yang difasilitasi peluncurannya oleh Ketua TP PKK Provinsi Bali, Ny. Putri Suastini Koster. Dukungan dari tokoh yang juga aktif di dunia sastra ini menjadi angin segar bagi Yuni dan penulis lainnya untuk terus berkarya.

Rahasia Foto Produk Kece Tanpa Ribet: Gunakan ChatGPT!

Ketujuh buku yang diluncurkan menampilkan beragam genre dan kekayaan ide. Mulai dari telaah akademis dalam ‘Sastra dan Telaah Aplikatif’ karya Prof. Dr. Gde Artawan, reinterpretasi kisah klasik ‘Jayaprana Layonsari’ oleh Putu Satria Kusuma, hingga luapan batin dalam ‘Kumpulan Puisi Nol Negeri Tanpa Langit’ dari I Gede Pandega Wirasabda.

Dunia fiksi pendek turut diwakili oleh Dewa Sarjana melalui ‘Bulan Magantung’.

Buku lainnya lagi adalah ‘Antologi Puisi Sukasada, Tanah, dan Daun-Daun Subur Puisi’ dari Made Edy Arudi. Tak ketinggalan, catatan penting sejarah teater lokal tertuang dalam ‘Sekelumit Sejarah Teater Angin’ yang ditulis secara kolektif oleh tiga perempuan hebat, diantaranya I Gusti Ayu Putu Rasmini, I A. Suniastiti, dan I G. A. Dewi Parwati.

Ny. Putri Koster secara khusus memberikan pujian yang mendalam kepada Yuni. “Adik kita Komang Yuni, walaupun tidak bisa secara langsung melihat dunia, tetapi Ibu yakin keindahan hatinya melebihi itu sehingga tercipta karya sastra yang mampu mencerahkan kita,” ucapnya dengan penuh kekaguman.

Yuni Lestari (kiri) bersama penulis dan sutradara teater Putu Satria

Photo :
  • Sumber foto: Dok. Instagram @komang_yuni_

Kata-kata ini menggambarkan betapa karya Yuni mampu melampaui batasan indrawi dan memberikan perspektif yang unik bagi pembacanya.

Yuni sendiri mengaku tidak pernah menyangka bahwa tulisan-tulisan yang ia ciptakan sejak tahun 2018 untuk kalangan terbatas akhirnya bisa terangkum dalam sebuah buku.

Terinspirasi dari penulis-penulis ternama seperti Dewi Lestari, Andrea Hirata, Pramoedya Ananta Toer, dan Eka Kurniawan, Yuni menemukan kebebasan dalam menulis. “Saya menulis sejak 2018 hanya untuk kalangan terbatas. Tak menyangka akhirnya bisa menjadi sebuah buku,” ujarnya.

Baginya, menulis adalah cara untuk mewujudkan imajinasi dan mimpinya. Mengutip Pramoedya Ananta Toer, Yuni menyadari betul pentingnya menulis sebagai jejak keberadaan seseorang dalam masyarakat dan sejarah.

“Ini adalah kepingan mimpi yang bisa saya wujudkan. Sebagaimana yang disampaikan Pramoedya, orang boleh pandai setinggi langit, tetapi kalau tidak menulis maka ia akan hilang dari masyarakat dan dari sejarah,” tuturnya dengan penuh makna.

Kehadiran Yuni dan karya-karyanya dalam kancah sastra di Bali menjadi inspirasi bagi banyak orang. Ia membuktikan bahwa semangat untuk berkarya dapat tumbuh subur di tengah segala keterbatasan.

Dukungan dari Ny. Putri Koster dan pemerintah provinsi melalui acara peluncuran buku ini diharapkan dapat semakin mendorong munculnya talenta-talenta sastra baru di Bali, termasuk dari kalangan disabilitas.

Selain Yuni, enam buku lainnya dari delapan penulis lainnya juga turut diluncurkan, menambah khazanah sastra di Bali dengan berbagai genre dan perspektif.

Namun, kisah perjuangan dan ketulusan Yuni Lestari dalam menghasilkan karya sastra tetap menjadi sorotan utama, memberikan sentuhan hati yang mendalam bagi perkembangan literasi di Pulau Dewata. Ia adalah bukti nyata bahwa imajinasi dan kreativitas tidak mengenal batas penglihatan. (*)