Antara Kopi, Gengsi, dan Panggung Sosial dalam Tongkrongan
- https://www.freepik.com/free-photo/two-hungry-students-after-long-hard-day-study-having-meal-cafeteria-young-pair-eating-sandwiches-with-big-satisfaction_8467043.htm
Lifestyle, VIVA Bali – Di banyak kota di Indonesia, nongkrong di kafe bukan lagi sekadar aktivitas melepas penat. Ia menjelma menjadi panggung sosial tempat gengsi, prestise, dan pengakuan diri dipertontonkan. Kursi empuk, Wi-Fi gratis, dan segelas kopi latte hanyalah ornamen. Yang lebih penting adalah status yang menempel ketika foto nongkrong itu diunggah ke Instagram.
Dari Senja di Lhokseumawe hingga Semarang
Penelitian di Lhokseumawe menemukan bahwa remaja yang rajin nongkrong di kafe rata-rata datang tiga kali seminggu. Bukan semata karena suka kopi, melainkan karena nongkrong menjadi bagian dari gaya hidup yang dianggap keren. Sementara di Semarang, mahasiswa menjadikan coffee shop sebagai ruang pembentuk identitas: dari cara berpakaian, pola tidur, hingga bahasa pergaulan, semua dipoles agar selaras dengan citra modern perkotaan.
Nongkrong sebagai Tanda Kelas
Fenomena serupa terlihat di Yogyakarta. Sebuah studi menunjukkan bahwa bagi sebagian mahasiswa, nongkrong bermakna “self-healing” dan berbagi pengalaman. Namun, tak sedikit pula yang nongkrong demi pengakuan sosial, sekadar menunjukkan bahwa mereka bagian dari lingkaran gaul. Dalam istilah penelitian, mereka disebut poser. Yakni kaum yang nongkrong bukan untuk isi percakapan, melainkan demi citra.
Santri, Malang, dan Status Sosial
Yang menarik, pola ini tidak terbatas pada remaja kota besar. Penelitian terhadap santri di Paciran, Jawa Timur, misalnya, memperlihatkan bagaimana mereka membawa uang jajan ke kafe bukan sekadar untuk makan-minum, melainkan untuk menampilkan diri: pakaian tren, minuman mahal, dan tentu saja, unggahan di media sosial. Di Malang, nongkrong di kedai kopi bahkan dipahami dengan kacamata teori Baudrillard di mana konsumsi bukan lagi soal kebutuhan, melainkan simbol
Dari Ruang Santai ke Ruang Pamer
Di Makassar, kafe dengan dekorasi unik dan musik live menjadi magnet anak muda. Mereka nongkrong untuk “nampang” dalam suasana modern yang dianggap prestisius. Begitu pula di Palembang, kafe dipandang sebagai tempat aktualisasi diri, tempat seseorang bisa merasa naik kelas hanya dengan duduk sambil membuka laptop di meja pojok.
Gengsi yang Dapat Dihirup
Dari berbagai penelitian itu, satu benang merah mengikat: nongkrong di Indonesia hari ini lebih dari sekadar minum kopi. Ia adalah arena untuk menghirup gengsi, meneguk prestise, dan menukar cerita dengan pengakuan sosial. Segelas kopi mungkin cepat habis, tapi citra yang melekat di feed Instagram bisa bertahan jauh lebih lama.