Indonesia dan Teknologi Kerakyatan, Ini Kata Nick Srnicek
- https://www.youtube.com/watch?v=YFXrtdy2sPo
Lifestyle, VIVA Bali – Di dunia yang makin digerakkan oleh teknologi, left accelerationism muncul sebagai gagasan radikal yang menolak pesimisme masyarakat akan modernitas. Salah satu pemikirnya adalah Nick Srnicek, yang gagasannya dituliskan dalam buku Inventing the Future (dengan Alex Williams pada tahun 2015). Srnicek dan Williams (2015) mengajak masyarakat untuk tidak melawan teknologi, tapi memanfaatkannya demi proses emansipasi. Namun, mungkinkah ide ini cocok untuk konteks Indonesia yang infrastrukturnya timpang dan kapitalismenya nyeleneh?
Gagasan Pokok
Srnicek mempercayai bahwa masyarakat harus merebut dan mempercepat potensi teknologi kapitalisme, bukan untuk keuntungan pasar, tapi untuk membebaskan manusia dari kerja paksa. Ia menawarkan post-work society melalui otomasi, universal basic income (UBI), dan penghapusan etos kerja neoliberal. Gagasan ini disebut sebagai "left accelerationism", yakni proses akselerasi kekuatan teknologi dari keinginan masyarakat, bukan dari Silicon Valley.
Konteks Indonesia; Infrastruktur dan Pekerjaan
Di Indonesia, kerja masih menjadi simbol moral dan identitas. Banyak yang terjebak dalam pekerjaan informal, ojol, freelance, dan pekerjaan prekariat lainnya. Belum lagi digitalisasi di sini sering dimonopoli korporasi (lihat: Gojek, Tokopedia, BUMN digital). Dengan kondisi ini, ide Srnicek soal otomasi dan UBI terdengar utopis, tapi justru penting dibicarakan.
Problem Ideologis
Aktivisme Indonesia sering terjebak romantisasi lokalitas: kembali ke desa, ekonomi kerakyatan, atau anti-modernitas. Tapi Srnicek menyentil itu: masa depan tidak bisa dimenangkan apabila kita terus lari ke nostalgia. Left accelerationism mengajak kita merebut masa depan, bukan mundur ke masa lalu. Di sini, Srnicek relevan buat mengkritik semangat dekolonial yang terlalu anti-teknologi.