Mengungkap Makna Tari Inai dalam Tradisi Pernikahan Melayu

Ilustrasi tradisi prosesi berinai, adat pernikahan suku Melayu
Sumber :
  • https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Pakaian_pengantin_Melayu_Deli_zaman_kini_dengan_kain_songket_corak_daun_inai_1.jpg

Tradisi, VIVA BaliTari Inai adalah tarian sakral dari tradisi Melayu yang erat terkait dengan upacara pernikahan, khususnya malam berinai. Tari ini pernah hampir terlupakan, tetapi kini sudah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO, sebagai upaya menjaga kelestariannya. Seperti yang disampaikan oleh media RiauOnline, pengakuan ini penting karena Tari Inai pernah berada di ambang punah dan kini hanya aktif dipertunjukkan di kawasan Melayu seperti Kepulauan Riau dan Jambi.

Mengintip Ritual Tiwah, Upacara Kematian Paling Unik di Kalimantan Tengah

Melansir penjelasan dari media pemerintahan di Serdang Bedagai, Tari Inai kerap dibawakan pada malam sebelum upacara pernikahan, setelah salat Isya. Dalam daerah itu, para penari bisa berjumlah dua hingga empat orang, tergantung adat setempat, anggaran, dan kebiasaan lokal. Tarian ini diposisikan sebagai inti dari malam berinai, ditampilkan bersamaan atau setelah rangkaian tarian hiburan lain dalam prosesi adat.

Gerakan Tari Inai mengambil banyak elemen dari pencak silat Melayu. Menurut RiauOnline, komposisi geraknya cenderung berada di level rendah: banyak gerakan rebahan, guling, atau bergerak mendatar di lantai. Gaya ini memberi nuansa magis dan intim, seolah penari menyatu dengan tanah. Di beberapa daerah, seperti Lingga, gaya tari Inai tetap mempertahankan elemen-elemen tradisional seperti gerak, rias, properti, dan kostum yang merefleksikan nilai-nilai komunitas setempat.

Menjaga Kesehatan Lintas Generasi Melalui Kearifan Jamu Nusantara

Pakaian dan properti tari Inai memiliki makna lebih dari sekadar estetika. Para penari biasanya membawa lilin sebagai atribut utama, lilin menyala melambangkan harapan dan pembersihan spiritual. Beberapa daerah juga menyesuaikan properti lain sesuai tradisi lokal. Di Lingga, misalnya, sanggar lokal seperti Sri Kemuning melakukan penataan tari Inai agar lebih mudah ditampilkan oleh generasi muda tanpa kehilangan unsur identitas Melayu lokal.

Tari Inai juga pernah dibatasi dalam gender dan usia. Dahulu, hanya laki-laki tua yang diizinkan menarikan Inai. Namun kini, pembawanya bisa lebih fleksibel, remaja laki-laki maupun perempuan terkadang ikut ambil bagian, tergantung tradisi setempat. Di beberapa kawasan Jambi, misalnya, tarian Inai dilakukan secara berpasangan antara laki-laki dan perempuan.

Mengejutkan! Benarkah Ritual Tatung di Singkawang Bisa Tingkatkan Harga Diri?

Meski punya akar kuat dalam ritual pernikahan, Tari Inai menghadapi tantangan besar dalam pelestarian. Salah satu kendalanya adalah bergesernya fungsi sosial malam berinai itu sendiri, biaya adat, komersialisasi pernikahan, dan minimnya regenerasi penari yang memahami makna simbolik tari. Di daerah seperti Nipah Panjang, misalnya, peneliti mencatat bahwa masyarakat Melayu jarang lagi menyelenggarakan malam berinai dengan Tari Inai karena faktor ekonomi dan perubahan sosial.

Namun lewat pengakuan UNESCO dan upaya sanggar kreatif lokal, Tari Inai mulai hidup kembali. Saat lilin dinyalakan dan penari bergerak secara lembut di malam sunyi, kita tidak hanya menyaksikan pertunjukan tari. Kita menatap simbol perlindungan, tradisi suci yang mengajak kita menjaga warisan budaya agar tak padam dalam arus zaman.