Perjalanan Menjadi Sikerei, Penjaga Tradisi Adat Suku Mentawai
- https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Sikerei_Anambas.jpg
Tradisi, VIVA Bali –Sikerei adalah sosok spiritual yang sangat penting dalam masyarakat adat Mentawai, mereka dikenal sebagai tabib, mediator roh, dan penjaga tradisi. Seperti yang dipaparkan oleh Radio Republik Indonesia, motif sibalubalu yang menghiasi tubuh seorang Sikerei dianggap sebagai simbol kedekatan mereka dengan dunia roh, khususnya roh leluhur, sehingga tato itu bukan sebatas hiasan, tetapi lambang status spiritual.
Di Desa Matotonan, acara Titi Sikerei menjadi salah satu atraksi budaya yang menonjol. Sebagaimana dituliskan pada portal Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sikerei sering disebut “dokternya orang Mentawai” karena kemampuannya mengobati masyarakat secara tradisional menggunakan tanaman dari hutan. Untuk membedakan Sikerei dengan warga biasa, mereka memiliki tato, dalam bahasa Mentawai disebut titi, yang mencerminkan strata spiritual mereka.
Peran Sikerei begitu luas, tidak hanya menyembuhkan penyakit jasmani, tetapi juga menjaga keseimbangan spiritual dan sosial. Dalam kepercayaan Arat Sabulungan yang masih ada di Mentawai, Sikerei dipercaya mampu berkomunikasi dengan roh leluhur dan alam gaib, memediasi konflik antara manusia dengan dunia non-manusia. Tanpa mereka, dinding antara alam roh dan manusia bisa melemah.
Proses menjadi Sikerei bukanlah hal yang sepele. Seseorang tak bisa langsung mengklaim menjadi Sikerei, ia harus melalui pelatihan khusus, pengetesan kemampuan spiritual, serta ritual-ritual yang ketat. Dalam masyarakat Mentawai, seseorang dianggap layak memakai titi setelah ia dewasa, terampil (misalnya berburu), dan dianggap mapan secara sosial. Seperti dijelaskan oleh Kemenparekraf, orang yang mendapat kehormatan memakai titi biasanya telah dianggap memiliki status dan tanggung jawab dalam komunitas.
Motif tatu yang ada di tubuh Sikerei bukan sekadar pola acak. Motif sibalubalu misalnya, melambangkan ikatan kuat dengan roh-roh leluhur dan kekuatan alam sekitar. Tato ini menjadi semacam “paspor spiritual” yang menunjukkan bahwa orang itu telah menempuh jalan asuhan ritual dan pengabdian.
Namun, tradisi ini menghadapi tantangan berat di era modern. Modernisasi, masuknya agama baru, dan gaya hidup kekinian membuat peran Sikerei makin terpinggirkan. Beberapa komunitas Mentawai kini memiliki sedikit sekali Sikerei aktif, dan pengetahuan ritual generasi muda sering tidak diwariskan secara utuh.
Desa Matotonan sendiri telah menjadikan Titi Sikerei sebagai bagian dari wisata budaya. Melalui atraksi ini, pengunjung bisa melihat bagaimana Sikerei melakukan ritual dan memahami makna titi. Ini juga menjadi salah satu cara bagi masyarakat lokal agar tradisi tak hilang, sekaligus membuka ruang dialog antara pengetahuan adat dan kesadaran masa kini.