Melacak Jejak Roti hingga Arsitektur, Warisan Budaya Belanda yang Melebur dalam Tradisi Indonesia

Rumah Klasik bergaya Belanda
Sumber :
  • https://www.99.co/id/panduan/inspirasi-rumah-gaya-belanda-klasik-kolonial-di-indonesia-yang-elegan/

Budaya, VIVA Bali –Sejarah kolonialisme Belanda selama lebih dari tiga abad di kepulauan Nusantara telah meninggalkan jejak mendalam yang melampaui bangunan tua dan sistem administrasi. Tanpa disadari, banyak praktik budaya, terutama dalam kuliner dan kebiasaan sehari-hari, telah diserap, dimodifikasi, dan kini diakui sepenuhnya sebagai bagian tak terpisahkan dari tradisi Indonesia. Fenomena akulturasi ini membuktikan bahwa budaya bersifat dinamis, mampu mengolah warisan masa lalu menjadi identitas masa kini.

Wayang Timplong, Kesenian Kayu Sederhana Nganjuk yang Bangkit dari Ancaman Kepunahan

 

Kuliner Akulturasi,  Dari Kue Hari Raya hingga Lauk Harian

Romansa dalam Nada, Sejarah dan Perkembangan Musik Keroncong

 

Pengaruh budaya Belanda paling mudah ditemukan di meja makan masyarakat Indonesia. Banyak hidangan yang kita kenal dan cintai ternyata memiliki akar kuat dari Negeri Kincir Angin, yang kemudian dimodifikasi dengan kekayaan rempah lokal.

Serunya Balapan Kerbau Makepung, Warisan Budaya Bali

 

Dua ikon kue kering yang wajib ada saat perayaan besar seperti Lebaran atau Natal adalah produk akulturasi kuliner yang sangat sukses. Kastengel yang populer itu berasal dari bahasa Belanda, kaasstengels, yang secara harfiah berarti "stik keju." Sementara Nastar, kue dengan isian selai nanas, adalah akronim dari bahasa Belanda, Ananastaart (tart nanas). Di Eropa, tart biasanya diisi berry, tetapi nanas yang melimpah di Nusantara menggantikan isian aslinya, menciptakan cita rasa tropis yang khas Indonesia.

 

Di luar kue kering, hidangan utama dan pendamping juga mengalami transformasi. Misalnya, Perkedel yang kini menjadi lauk favorit sehari-hari, berakar dari kudapan daging giling Belanda, frikadeller. Di Indonesia, kentang menjadi bahan utamanya, dipadukan dengan bumbu-bumbu lokal seperti bawang putih dan merica. Lalu ada Semur, hidangan daging berkuah cokelat manis, yang namanya diyakini berasal dari kata Belanda, smoor (rebusan). Semur di Indonesia bertransformasi dengan penambahan kecap manis dan rempah-rempah yang melimpah, menciptakan rasa gurih-manis yang jauh berbeda dari versi aslinya.

 

Bahkan hidangan ningrat seperti Selat Solo menunjukkan bagaimana budaya Eropa diadopsi oleh kalangan bangsawan Jawa. Dikenal juga sebagai bistik Jawa, Selat Solo adalah adaptasi lokal dari biefstuk (bistik) ala Belanda, yang kemudian disajikan dengan kuah yang lebih encer dan manis, ditemani sayuran rebus seperti buncis dan wortel, menjadikannya perpaduan unik antara gaya Eropa dan cita rasa Jawa.

 

Warisan Arsitektur dan Linguistik

 

Pengaruh Belanda tidak hanya berhenti di dapur. Warisan arsitektur dan sistem yang mereka bangun juga masih menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern Indonesia.

 

Banyak kota di Indonesia, terutama di Jawa, memiliki bangunan peninggalan kolonial yang masih berfungsi hingga kini. Arsitektur bergaya kolonial yang khas, seperti di kawasan Kota Tua Jakarta atau Lawang Sewu di Semarang, dengan ciri khas langit-langit tinggi dan jendela besar, mencerminkan gaya Eropa yang disesuaikan dengan iklim tropis. Selain itu, sistem irigasi dan jalur kereta api yang vital bagi perekonomian dan transportasi saat ini adalah infrastruktur yang dibangun di era kolonial.

 

Interaksi selama berabad-abad juga meninggalkan jejak yang tak terhapuskan pada bahasa. Ratusan kata serapan dari bahasa Belanda kini menjadi bagian dari Bahasa Indonesia sehari-hari, sebuah penanda linguistik dari interaksi budaya yang telah berlangsung lama. Contoh kata yang lazim digunakan antara lain: kantor (dari kantoor), kamar (dari kamer), kopor (dari koffer), apotek (dari apotheek), dan koran (dari krant).

Secara keseluruhan, warisan budaya Belanda di Indonesia adalah sebuah paradoks sejarah. Meskipun berakar dari masa penjajahan yang pahit, elemen-elemen budayanya telah melewati proses seleksi alamiah dan akulturasi, diserap oleh masyarakat lokal, dan kini menjadi bagian otentik dari tradisi Indonesia. Hal ini menunjukkan kemampuan luar biasa bangsa Indonesia untuk tidak hanya menerima, tetapi juga mengolah dan mempersonalisasi pengaruh asing menjadi sesuatu yang benar-benar milik sendiri.