Tari Legong Lasem, Jiwa Seni Tari Bali yang Mengisahkan Cinta Tak Sampai dari Cerita Panji di Ubud

Pesona Legong Lasem, Tari Klasik Bali yang Melegenda
Sumber :
  • https://www.instagram.com/p/BktuJlnFtJT/?igsh=c3NmbzB0Y2swM2Rr

Budaya, VIVA Bali – Bali, pulau dewata yang kaya akan seni pertunjukan, memiliki Tari Legong sebagai salah satu ikon budayanya yang memikat dunia. Tari Legong Lasem, varian populer dari Legong Keraton, menggabungkan gerak luwes ("leg") dengan iringan gamelan ("gong"), menciptakan harmoni gerak dan suara yang eksotis. Tarian ini awalnya sakral, hanya dipentaskan di pura dan istana untuk upacara Hindu, tetapi kini menjadi daya tarik wisata di desa-desa seperti Peliatan, Ubud, Gianyar. Sebagai warisan budaya dunia non-benda UNESCO sejak 2015 yang menjadi salah satu dari sembilan tarian Bali seperti Barong, Rejang, dan Wayang Wong. Legong Lasem melestarikan cerita epik Panji sambil beradaptasi dengan era modern (basabali.org).

Budaya Kelapa Masyarakat Selayar

Asal-usul Tari Legong dilansir dari indonesiakaya.com, berasal dari ide Raja Sukawati I Dewa Agung Made Karna sekitar awal abad ke-19, terinspirasi semedi melihat sembilan bidadari menari di surga dengan topeng dan busana indah, diiringi gamelan semar pegulingan. Versi lain menyebut pengaruh tari andir dari I Gusti Ngurah Jelantik di Blahbatuh, Gianyar, pertengahan abad ke-19. Legong Lasem diciptakan akhir abad ke-19 oleh I Dewa Gde Rai Perit, bangsawan Gianyar, mengadaptasi kisah Panji tentang cinta tak sampai Prabu Lasem kepada Diah Rangkesari. Awalnya bersifat sakral, hanya untuk upacara di pura/puri dengan penari gadis murni (belum menstruasi). Pada 1928, Raja Sukawati izinkan pentas di luar istana; 1931, dukung pariwisata di hotel-hotel Bali. Puri Agung Peliatan menjadi pusat pelestarian Legong Keraton, sering dipentaskan di acara adat (basabali.org).

Pelaksanaan Tari Legong Lasem biasanya melibatkan tiga penari utama: Condong (pembuka, kostum merah) yang perankan pelayan, diikuti dua penari Legong (kostum hijau cerah dengan lukisan daun, aksesori emas, dan kipas kecuali Condong) yang ganti peran Prabu Lasem dan Diah Rangkesari. Struktur lengkap lima bagian: papeson (pembukaan), pengawak (utama), pengencet (pengembangan), pengipuk (percintaan/pertempuran), dan pekaad (penutup), berdurasi hingga 60 menit. Untuk wisata, dipersingkat 15 menit dengan penari usia 20-an. Pengiring tradisional gamelan pelegongan/semara pegulingan kini sering diganti gong kebyar. Gerak lentur, aksen sinkron gamelan, dan kostum megah ciptakan nuansa klasik-eksotis, mengisahkan drama romansa dari cerita Panji/Malat (indonesiakaya.com).

Bagaimana Pohon Kehidupan Menghidupkan Budaya Bali

Hingga kini, Tari Legong Lasem berevolusi dari sakral ke hiburan rakyat, dipentaskan di festival seni, lapangan desa, dan panggung wisata tanpa kehilangan esensi. Banyak desa seperti Peliatan kembangkan gaya khas, ajarkan ke gadis desa untuk lestarikan. Meski fungsi bergeser, tarian ini tetap simbol kelembutan Bali, dengan gerak gemulai yang ungkap emosi cinta dan konflik. UNESCO akui sebagai warisan tak benda, tekankan peranannya dalam identitas budaya Bali di tengah globalisasi.

Pelestarian Tari Legong Lasem didukung komunitas desa, puri, dan pemerintah Gianyar melalui sanggar tari, workshop, dan integrasi festival seperti Bali Arts Festival. Kini, tarian ini dorong ekonomi lokal via pertunjukan wisata, ciptakan lapangan kerja bagi penari muda, dan edukasi generasi tentang cerita Panji. Dari istana ke panggung dunia, Legong Lasem pastikan warisan seni Bali tetap hidup dan relevan.

Tradisi Rambu Solo’ Toraja yang Jadi Warisan Budaya Dunia