Dugderan Semarang, Tradisi Akulturasi yang Jadi Senjata Promosi Wisata

Tradisi Dugderan saat membawa Warak Ngendog.
Sumber :
  • https://menpan.go.id/site/berita-terkini/semarang-tandai-kehadiran-ramadan-dengan-tradisi-dugderan

Budaya, VIVA Bali – Apa jadinya jika sebuah tradisi religi berubah menjadi strategi promosi wisata kelas dunia? Itulah Dugderan, tradisi khas Semarang yang memadukan unsur Jawa, Arab, dan Tionghoa, menjelang bulan Ramadhan. Tidak hanya menjadi penanda datangnya bulan suci, tetapi juga berhasil menjelma sebagai daya tarik wisata budaya yang memperkuat identitas Kota Semarang.

Gawai Dayak, Warisan Budaya yang Menyatukan Masyaraka

Asal Usul Dugderan

Nama Dugderan berasal dari kata dug (bunyi bedug) dan der (bunyi meriam), yang sejak dulu dijadikan penanda datangnya bulan Ramadhan. Dikutip dari Jurnal Sosial Humaniora Terapan, tradisi ini merupakan hasil akulturasi tiga etnis besar yang tinggal di Semarang: Jawa, Arab, dan Tionghoa. Dari sinilah Dugderan menjadi simbol harmoni sekaligus budaya khas yang tidak bisa ditemukan di kota lain.

Daya Tarik Dugderan

Ramuan Suku Mee dan Variasi Apotek Hidup dari Papua

Dugderan tidak hanya menghadirkan prosesi religi, tetapi juga pasar rakyat yang berlangsung seminggu penuh di sekitar Pasar Johar dan Masjid Kauman. Pemerintah Kota Semarang mengemas acara ini dengan pendekatan STP (Segmenting, Targeting, Positioning) sehingga mampu menarik ribuan wisatawan tiap tahunnya.

Maskot utama Dugderan adalah Warak Ngendog, hewan mitologis dengan bentuk perpaduan kambing, naga, dan buraq. Kehadirannya tidak sekadar hiburan, tetapi juga menjadi ikon Semarang yang melekat dalam setiap perayaan Dugderan.

Halaman Selanjutnya
img_title
Ngerebeg, Ritual Sakral untuk Menjaga Keseimbangan Alam Semesta