Kenang-Kenangan Syekh Abdul Wahab Calau di Minangkabau Abad 19
- https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/b/b9/Makam_Syekh_Abdul_Wahab_Calau_01.jpg
Tradisi Syattariyah di Calau
Sebagai tokoh tarekat Syattariyah, Syekh Abdul Wahab mengajarkan keseimbangan antara syariat dan tasawuf. Ia menekankan disiplin zikir, tetapi juga menuntut muridnya menguasai kitab-kitab klasik. Dari sini terlihat jelas bagaimana tradisi Syattariyah di Minangkabau tidak hanya menekankan aspek mistik, melainkan juga rasionalitas keilmuan.
Surau Calau pun berkembang sebagai pusat manuskrip. Diisi ragam teks agama, wirid, hingga catatan pengobatan tradisional disalin dan diajarkan di sana. Naskah-naskah itu hingga kini masih tersisa, menjadi bukti jejak intelektual yang ditinggalkan.
Warisan Abadi
Kini, lebih dari seabad sejak wafatnya Syekh Abdul Wahab, jejak intelektualnya masih hidup. Surau Tinggi Calau tetap berdiri, walau fungsinya sudah banyak berubah. Manuskrip-manuskrip yang ia wariskan menjadi sumber penelitian para filolog, sejarawan, dan budayawan.
Warisan Abdul Wahab menunjukkan bahwa ulama tidak hanya berperan di ruang ibadah, tapi juga sebagai motor perubahan sosial. Ia membuktikan bahwa surau bisa menjadi ruang produksi pengetahuan, dan pendidikan bisa menjadi strategi mempertahankan jati diri di tengah arus kolonialisme.
Kisah Syekh Abdul Wahab Calau adalah kisah tentang kekuatan ilmu. Ia mengajarkan bahwa sebuah surau kecil di Sijunjung bisa menjadi mercusuar intelektual Minangkabau. Bahwa ajaran tarekat bukan hanya soal zikir, melainkan juga soal membangun kesadaran kritis dan identitas budaya. Warisan itu, meski berusia lebih dari seabad, masih menyala hingga kini bagai lampu surau yang tak pernah padam.