Pasangan Raksasa Barong Landung, Penjaga Harmoni Bali

Ilustrasi sepasang patung raksasa Barong Landung
Sumber :
  • https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Pura_Taman_Beji_Sudamala_Lembah_Tulis_Tabanan_24.jpg

Budaya, VIVA BaliBali dikenal sebagai pulau dengan tradisi yang penuh warna. Di balik gemerlap tari dan upacara, ada satu kesenian unik yang sering mencuri perhatian, Barong Landung. Berbeda dengan barong lain yang umumnya berbentuk hewan berkaki empat, Barong Landung justru tampil dalam wujud sepasang manusia raksasa. Sosok ini tidak hanya menghadirkan tontonan, tetapi juga sarat makna sejarah dan budaya.

Labuh Laut Larung Sembonyo, Warisan Budaya Nelayan Prigi yang Memikat Wisatawan

Menurut penjelasan dari Kemendikbud, Barong Landung terdiri dari dua figur utama, yaitu Jero Gede yang berkulit gelap dengan wajah tegas, serta Jero Luh yang berkulit putih dengan raut halus. Keduanya digambarkan seperti pasangan laki-laki dan perempuan, melambangkan dualitas sekaligus keseimbangan hidup. Kehadirannya dipercaya memiliki fungsi sakral, terutama saat tampil dalam rangkaian upacara piodalan di pura.

Yang membuat Barong Landung semakin menarik adalah latar sejarahnya. Dalam penelitian yang dimuat dalam Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya, dijelaskan bahwa Barong Landung merupakan hasil akulturasi antara budaya Bali dan Tionghoa. Masyarakat Bali mengaitkannya dengan kisah raja Bali yang menikah dengan perempuan Tionghoa. Dari sinilah muncul simbolisasi Jero Gede dan Jero Luh, yang hingga kini diyakini sebagai representasi hubungan lintas budaya pada masa lampau. Seperti ditulis dalam penelitian tersebut, “Barong Landung menjadi wujud persentuhan dua tradisi yang saling melengkapi.”

Menggali Filosofi Ruwatan dalam Tradisi Rasulan Tepus Gunungkidul

Selain nilai sejarah, Barong Landung juga sarat simbol spiritual. Kehadirannya dalam ritual dipercaya mampu memberikan perlindungan dari energi negatif. Saat arak-arakan, tubuhnya yang besar dan gerakannya yang menggelitik sering membuat penonton terhibur. Namun di balik tawa itu, masyarakat Bali memaknainya sebagai pengingat akan keseimbangan hidup: bahwa suka dan duka, terang dan gelap, selalu berjalan beriringan.

Fungsi hiburan dan sakral yang berjalan bersamaan ini memperlihatkan fleksibilitas budaya Bali dalam merawat tradisinya. Barong Landung bukan sekadar pertunjukan untuk turis, melainkan juga bagian dari keyakinan yang dijaga turun-temurun. Dengan kata lain, ia bukan hanya artefak budaya, melainkan “makhluk hidup” dalam kehidupan masyarakat, karena terus dihadirkan, dipercaya, dan dirayakan.

Humor dan Kritik Sosial di Panggung Teater Lenong Betawi

Keberadaan Barong Landung hingga sekarang juga menjadi bukti bahwa akulturasi budaya tidak selalu menghapus identitas asli. Sebaliknya, ia bisa memperkaya tradisi. Bali berhasil membuktikan bahwa keterbukaan terhadap pengaruh luar bisa melahirkan warisan unik yang memperkuat identitas lokal.

Melihat Barong Landung bergerak gagah diiringi gamelan, kita seakan diajak menyelami pesan-pesan leluhur. Bahwa budaya bukan sekadar peninggalan, melainkan ruang perjumpaan antara sejarah, keyakinan, dan kreativitas manusia. Dari sana, kita belajar bahwa tradisi hidup bukan karena dipertontonkan, melainkan karena dipelihara bersama dalam keseharian masyarakatnya.