Telingaan Aruu, Warisan Berharga, Identitas Perempuan Dayak Kayaan
- https://indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/telingaan-aruu-tradisi-suku-dayak-yang-mulai-ditinggalkan
Tradisi, VIVA Bali –Di jantung Kalimantan, terukir sebuah tradisi unik yang tak hanya menjadi simbol kecantikan, tetapi juga penanda status sosial dan ketahanan hidup seorang perempuan. Tradisi ini dikenal sebagai Telingaan Aruu atau "telinga panjang," sebuah praktik yang lazim ditemukan di sub-suku Dayak tertentu, terutama Dayak Kayaan. Bukan sekadar anting, Telingaan Aruu adalah warisan berharga yang merefleksikan identitas, spiritualitas, dan sejarah panjang masyarakat adat.
Simbol Kecantikan dan Kelas Sosial
Telingaan Aruu bukanlah hal yang sederhana. Prosesnya dimulai sejak seorang anak perempuan masih kecil. Telinganya ditindik dan dipasang anting yang terbuat dari logam kuningan. Seiring bertambahnya usia, jumlah anting yang dipasang akan terus bertambah, menyebabkan lubang telinga membesar dan cupingnya memanjang hingga menyentuh bahu. Anting-anting yang berat ini disebut Bandang. Semakin panjang telinga seorang perempuan, semakin tinggi pula status sosialnya dalam masyarakat.
Bagi perempuan Dayak, telinga panjang adalah tanda kecantikan dan kehormatan. Kecantikan tidak diukur dari standar modern, melainkan dari seberapa sabar dan kuatnya mereka menahan beban di telinga. Proses ini juga menjadi bukti bahwa mereka berasal dari keluarga bangsawan atau terpandang. Setiap Bandang yang dipasang memiliki makna tersendiri, menceritakan kisah perjalanan hidup dan status keluarga yang diwakilinya.
Fungsi dan Tantangan di Era Modern
Selain sebagai simbol estetika dan sosial, Telingaan Aruu juga memiliki fungsi spiritual. Masyarakat Dayak meyakini bahwa telinga yang panjang dan terhias indah dapat menangkal roh jahat dan membantu komunikasi dengan leluhur. Telinga panjang juga digunakan sebagai penanda dari mana asal suku mereka, sebuah identitas yang mudah dikenali di tengah keberagaman suku Dayak.
Namun, tradisi ini kini semakin jarang ditemukan. Gempuran modernisasi dan stigma sosial membuat banyak perempuan muda enggan melanjutkan tradisi ini. Selain itu, prosesnya yang menyakitkan dan memakan waktu juga menjadi alasan. Saat ini, hanya para perempuan berusia tua yang masih setia dengan tradisi ini, menjadi penjaga terakhir dari sebuah warisan budaya yang nyaris punah.