Menguak Rambu Solo’, Tradisi Pemakaman Sakral Masyarakat Toraja
- https://digitaldesa.id/artikel/rambu-solo-upacara-kematian-sebagai-warisan-budaya-masyarakat-toraja
Tradisi, VIVA Bali –Matahari mulai merunduk di balik pegunungan, sinarnya meredup perlahan, menyisakan semburat jingga di langit Toraja. Di Tongkonan, rumah adat yang menjadi saksi bisu banyak sejarah, terdengar langkah-langkah pelayat dalam suara takut dan harapan. Inilah suasana ketika Toraja menyiapkan satu prosesi sakral: Rambu Solo’.
Bagi masyarakat Toraja, Rambu Solo’ bukan sekadar upacara kematian. Upacara ini adalah ritual yang memuliakan orang yang telah meninggal, mengantar rohnya ke alam keabadian yang mereka sebut Puya, dan merangkai tali ikatan sosial yang tetap hidup di antara mereka yang masih bertahan.
Aluk Todolo dan “Mati yang Belum Mati”
Aluk Todolo, kepercayaan leluhur Toraja, memandang kematian sebagai proses bukan akhir mutlak. Orang yang meninggal belum “lepas”, bukan sampai seluruh prosedur Rambu Solo’ dijalankan.
Selama masa tunggu itu, jenazah disemayamkan di rumah keluarga. Ia dianggap “to makula’”, masih seperti orang sakit bukan “pergi”. Keluarga merawat dengan hormat, memberi perlakuan seolah orang itu masih ada. Setiap ritual, setiap kurban, adalah ungkapan bakti, rasa hormat, dan doa agar roh bisa “melangkah” ke Puya dengan damai.
Rangkaian Ritual yang Megah dan Penuh Simbol
Dilansir dari laman digital desa, upacara Rambu Solo’ bukan pesta kilat, Ritual ini biasa berlangsung beberapa hari sampai ber minggu, tergantung status sosial dan kemampuan keluarga.