Metode Leluhur Sunda Mendidik Diri Lewat Pepatah
- https://www.pexels.com/id-id/foto/desa-kampung-dusun-perempuan-18157411/
Budaya, VIVA Bali –Di tengah derasnya arus globalisasi, dunia pendidikan sering kali diukur dengan angka. Entah nilai ujian, ranking, atau poin-poin dalam sertifikat. Namun, jauh sebelum konsep pendidikan formal dikenal luas, masyarakat Nusantara sudah memiliki falsafah pendidikan yang kuat, hidup dalam keseharian, dan diwariskan secara lisan. Salah satu yang paling menarik adalah filosofi pendidikan masyarakat Sunda.
Sebuah penelitian yang dimuat di jurnal Educare karya Yayat Sudaryat mengungkapkan bahwa ungkapan-ungkapan tradisional Sunda sesungguhnya adalah “kitab tak tertulis” tentang pendidikan. Ungkapan ini tidak sekadar hiasan bahasa, melainkan sarana mendidik karakter. Dalam pandangan peneliti, pepatah Sunda mampu mengajarkan nilai moral, sosial, hingga spiritual dengan cara yang sederhana tetapi mendalam.
Pendidikan Karakter Lewat Pepatah
Orang Sunda mengenal konsep “jelema masagi”, yang berarti manusia seutuhnya. Pepatah ini mencerminkan cita-cita pendidikan Sunda. Memupuk individu yang seimbang antara kecerdasan, etika, dan spiritualitas. Tidak hanya pintar di kepala, tetapi juga baik budi dan teguh iman.
Peneliti menjelaskan bahwa ungkapan ini mendorong masyarakat untuk mendidik anak bukan semata mengejar ilmu akademik, melainkan juga membentuk akhlak. “Pendidikan Sunda bukan sekadar mencetak pintar, melainkan mencetak budi pekerti,” begitu kiranya dalam siratan penelitian.
Selain itu, ada pula pepatah “caina herang, laukna beunang”, yang secara harfiah berarti airnya jernih, ikannya tertangkap. Ungkapan ini menekankan pentingnya kejelasan hati dan pikiran dalam setiap proses, termasuk dalam belajar. Jika hati bersih dan tujuan jelas, hasilnya pun akan tercapai. Filosofi ini mengajarkan bahwa pendidikan tidak bisa dilepaskan dari ketulusan dan kejujuran.
Harmoni dengan Alam dan Sesama
Falsafah pendidikan Sunda juga menempatkan harmoni sebagai inti. Ungkapan-ungkapan tradisional menekankan hubungan seimbang antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, serta manusia dengan Tuhan. Pendidikan tidak hanya berlangsung di ruang kelas, melainkan juga di sawah, di hutan, atau di balai kampung.
Misalnya saja, pepatah “hirup kudu ngajadi cai” yang berarti hidup harus seperti air. mengajarkan tentang kerendahan hati, kesabaran, dan kemampuan beradaptasi. Nilai ini, menurut peneliti, menjadi bekal karakter yang tak lekang oleh zaman.
Relevansi di Era Modern
Di era digital yang serba instan, pepatah-pepatah tradisional mungkin terdengar kuno. Namun penelitian ini justru menegaskan bahwa nilai-nilai itu relevan untuk menjawab krisis pendidikan karakter saat ini. Revitalisasi idiom tradisional dapat menjadi cara kreatif untuk mengajarkan nilai-nilai luhur di sekolah maupun keluarga.
Bagi Yayat Sudaryat, ungkapan tradisional Sunda bukan sekadar warisan budaya, tetapi juga cermin filosofi pendidikan Nusantara. Ia menulis bahwa pepatah itu adalah “refleksi dari sistem pendidikan yang menempatkan manusia sebagai pusat, bukan sekadar objek.” Dengan kata lain, pendidikan Nusantara masa lampau telah lebih dulu mengajarkan prinsip humanisme jauh sebelum istilah itu populer di dunia akademik modern.
Menjaga Warisan, Menata Masa Depan
Pendidikan di masa lalu memang tidak mengenal istilah kurikulum, silabus, atau modul pembelajaran. Namun, melalui ungkapan tradisional, orang Sunda berhasil menanamkan nilai hidup yang membentuk pribadi tangguh. Dari “jelema masagi” hingga “hirup kudu ngajadi cai”, setiap kata adalah nasihat, setiap pepatah adalah pendidikan.
Kini, tugas generasi muda adalah menjaga agar filosofi itu tidak sekadar menjadi koleksi buku atau catatan penelitian, tetapi benar-benar hidup dalam praktik sehari-hari. Karena pada akhirnya, falsafah pendidikan Nusantara mengingatkan kita bahwa belajar bukan hanya soal angka, melainkan tentang menjadi manusia seutuhnya.