Desa Bali Pionir Bank Waktu Warga Tuker Jasa Pertukangan dengan Les Bahasa
- https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Sunrise_at_Budakeling.jpg#/media/File:Sunrise_at_Budakeling.jpg
Gumi Bali, VIVA Bali – Konsep bank waktu menegaskan semangat gotong royong modern di pedesaan Bali. Sebagaimana tradisi Subak sebagai organisasi sosial petani di Bali yang mengatur irigasi secara kolektif, pembagian air dilakukan adil dan segala masalah diselesaikan bersama. Bank Waktu merupakan sistem pertukaran keterampilan di mana warga menukarkan jam kerja satu sama lain daripada uang.
Ide ini sebenarnya menghidupkan kembali semangat ekonomi berbasis komunitas: “di mana orang menukar keterampilan dan layanan berdasarkan waktu yang dihabiskan, bukan uang”. Inisiatif di Bali ini mengandalkan tradisi gotong royong (Tri Hita Karana) dan berupaya menciptakan ekosistem jasa bersama yang berkelanjutan di desa.
Konsep Bank Waktu dan Gotong Royong
Bank Waktu adalah bentuk modern barter keterampilan yang berakar pada nilai sosial. Dalam skema ini setiap warga memiliki “saldo waktu”: 1 jam kerja sama dengan 1 jam layanan lain. Misalnya seorang tukang kayu yang membantu membangun fasilitas desa satu jam mendapat kredit satu jam untuk belajar bahasa Inggris dari seorang guru. Dengan demikian, bank waktu menumbuhkan rasa saling percaya dan kolaborasi antarwarga.
Konsep serupa pernah diterapkan di Swiss, di mana program Time Bank mendukung perawatan lansia: orang menyumbangkan waktu merawat orang tua sekarang, lalu menarik bantuan ketika mereka tua. Sistem ini bahkan dikembangkan oleh Kementerian Keamanan Sosial Swiss, mencatat waktu layanan sosial dalam rekening ‘bank waktu’.
Lebih jauh lagi, Bank Waktu dianggap sebagai adaptasi ekonomi gotong royong ke era modern. Berbagai platform barter dan mata uang lokal menunjukkan kemiripan ini: “Inisiatif seperti bank waktu, di mana orang saling bertukar jasa tanpa melibatkan uang, merupakan adaptasi modern dari prinsip gotong royong”. Dengan kata lain, Bank Waktu tidak melanggar prinsip ekonomi nasional: gotong royong sebagai nilai Pancasila tetap dijunjung karena semua partisipan diperlakukan setara dalam transaksi jasa.
Bahkan pemerintah mendorong nilai ini; misalnya Kementerian Desa menyebut pembentukan relawan desa “dengan semangat gotong royong” ketika mengalokasikan Dana Desa untuk penanggulangan Covid-19. Ini menunjukkan posisi gotong royong sebagai basis penguatan ekonomi sosial di desa.
Bank Waktu di Indonesia dan Manfaatnya
Konsep Bank Waktu tidak hanya muncul di Bali. Beberapa komunitas di Indonesia telah bereksperimen dengan skema serupa. Misalnya, di Flores Timur (Adonara, NTT) komunitas petani mengimplementasikan ide “Bank Waktu” dalam kegiatan agrowisata pangan lokal. Di sana, para petani bekerja sama gotong royong menambah nilai produk pangan lokal dan memasarkan secara bersama.
Hal ini sejalan dengan data resmi bahwa kebiasaan gotong royong masyarakat desa terus dipantau oleh pemerintah. Menurut Indeks Desa Membangun (kemendes PDTT), gotong royong adalah dimensi sosial penting yang dipantau lewat survei rutin desa.
Secara praktis, Bank Waktu membawa sejumlah manfaat bagi desa:
1. Pemberdayaan Keterampilan Lokal: Warga termotivasi mengembangkan keterampilan unik karena bisa dipertukarkan. Contoh nyata seperti tukang kayu dan pengajar bahasa, dimana keduanya mendapat akses layanan saling menguntungkan tanpa biaya uang tunai.
2. Penguatan Solidaritas: Skema ini memperkuat jaringan sosial. Setiap jam sukarela yang diberikan adalah simpanan sosial yang dapat “ditarik” kembali saat dibutuhkan, menguatkan jaring pengaman komunitas.
3. Mendorong Partisipasi Ekonomi: Desa mampu meningkatkan aktivitas ekonomi lokal (seperti jasa konstruksi atau kursus bahasa) tanpa memerlukan modal finansial. Nilai tukar jam bank waktu dipantau bersama, mirip rekening sosial desa.
Data kemendes menunjukkan gotong royong menjadi sumber kesejahteraan lokal. Dengan Bank Waktu, partisipasi dan produktivitas warga diharapkan meningkat tanpa menimbulkan beban fiskal pemerintah. Program ini juga memupuk kemandirian desa karena transaksi terjadi antar warga sendiri tanpa pihak eksternal.
Desa Bali Pionir Bank Waktu
Inisiatif Bank Waktu pertama di Bali digagas oleh warga desa yang kreatif. Proyek ini melibatkan berbagai lapisan masyarakat: pekerja terampil, guru privat, petani, dan pemuda desa. Sistemnya sederhana: setiap warga mendaftarkan keterampilan yang dimiliki dan yang dibutuhkan. Misalnya, seorang tukang kayu menuliskan ketersediaannya untuk pelayanan bangunan (carpentry) selama satu jam.
Seorang guru bahasa Inggris menawarkan satu jam les privat. Ketika kedua pihak sepakat, jam waktu tersebut ditukar si tukang kayu menerima satu jam les bahasa, guru menerima satu jam kerja pertukangan.
Contoh konkret: Kepala dusun terampil pertukangan bertukar waktu dengan pengajar bahasa. Dalam skala kelompok, tukang besi membantu memperbaiki pagar sekolah setempat selama 5 jam, lalu “menabung” 5 jam tersebut untuk dia gunakan memperoleh kursus komputer dari warga lain. Begitu pula, warga lain menukarkan waktu mereka; seorang pemuda menanam rumput di lapangan desa selama 2 jam agar mendapatkan 2 jam kursus menjahit dari ibu-ibu desa. Semua transaksi tercatat dalam sistem Bank Waktu desa sehingga transparan.
Mekanisme ini juga diaplikasikan pada proyek desa. Misalnya, pembangunan balai desa baru dilakukan secara padat karya warga (waktu tukang), dan imbalannya desa menyediakan program pemberdayaan (waktu pelatihan) sesuai Bank Waktu. Setiap kontribusi waktu secara sukarela dicatat dan dihargai.
Jadi, pengajar bahasa yang berdedikasi mengajar anak desa gratis juga bisa “menabung” lebih banyak waktu, lalu menggunakan simpanan waktu itu untuk jasa tukang bangunan atau kerumahtanggaan. Dengan kata lain, Bank Waktu di desa Bali memfasilitasi saling menolong tanpa uang, memanfaatkan potensi gotong royong dan keterampilan lokal.
Peluang dan Tantangan
Secara ideal, Bank Waktu di desa Bali membuka peluang inovasi sosial-ekonomi:
1. Pendidikan dan Pelatihan: Bank Waktu membuka akses belajar bahasa atau komputer bagi yang tidak mampu bayar, karena dibayar dengan waktu kerja desa. Hal ini dapat meningkatkan kompetensi penduduk desa tanpa beban keuangan.
2. Pemberdayaan UMKM Desa: Warga berpeluang mengembangkan usaha kecil (misal bengkel, karoseri, belajar baking) dengan menukar jasa, sehingga modal kerja dan pemasaran menjadi berbasis gotong royong.
3. Kemandirian Desa: Desa tidak sepenuhnya tergantung pada uang negara, melainkan memaksimalkan sumberdaya manusia lokal. Pembagian tenaga kerja desa pun diorganisir secara demokratis, menghidupkan proses subak modern di bidang jasa.
Namun, tantangan juga ada. Perlu waktu agar warga memahami sistem baru ini. Pelatihan administrasi Bank Waktu harus dilakukan karena biasanya masyarakat desa terbiasa transaksi tunai. Perlu pula dukungan perangkat desa dan masyarakat adat untuk mengawal agar catatan pertukaran jam akurat dan adil. Kebijakan resmi juga diharapkan mengakomodasi inovasi semacam ini, misalnya melalui panduan BUMDes yang bisa menaungi Bank Waktu sebagai unit usaha non-moneternya.
Secara keseluruhan, Bank Waktu memperlihatkan sinergi nilai lama dan baru. Desa Bali yang sudah dikenal gotong royong dalam Subak kini mengembangkan “subak jasa” berupa bank waktu. Jika kelak skala desa ini diperluas, kemungkinan tercipta jejaring antar-desa Bali untuk saling tukar keahlian lebih luas lagi, memperkuat kemandirian dan produktivitas ekonomi kerakyatan.