Falsafah Tri Hita Karana di Bali, Kearifan Lokal yang Menginspirasi Dunia
- https://www.shutterstock.com/search/tri-hita-karana
Gumi Bali, VIVA Bali –Bali adalah pulau kecil di Indonesia yang namanya mendunia berkat keindahan alam, keramahan penduduknya, dan kekayaan budaya yang terus lestari hingga kini. Di balik semua itu, tersembunyi sebuah falsafah hidup yang menjadi dasar harmonisasi kehidupan masyarakat Bali yang dikenal dengan nama Tri Hita Karana.
Filosofi ini bukan sekadar konsep, melainkan sudah mengakar kuat dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Bali, mulai dari pola pikir, tata ruang, pertanian, hingga pariwisata.
Dalam artikel ini, kita akan mengenal lebih dalam makna, penerapan, dan relevansi Tri Hita Karana yang telah menjadi napas kehidupan Bali selama berabad-abad.
Apa itu Tri Hita Karana?
Ddikutip dari laman trihitakarana.co.id secara etimologis, Tri Hita Karana berasal dari bahasa Sanskerta dan Bali. Tri berarti tiga, Hita berarti kebahagiaan atau kesejahteraan, dan Karana berarti penyebab.
Dengan demikian, Tri Hita Karana berarti “tiga penyebab tercapainya kebahagiaan dan kesejahteraan.” Tiga elemen utama itu adalah:
1. Parahyangan, hubungan harmonis manusia dengan Tuhan.
2. Pawongan, hubungan harmonis antar sesama manusia.
3. Palemahan, hubungan harmonis manusia dengan alam dan lingkungan.
Falsafah ini merupakan warisan dari ajaran Hindu yang masuk ke Bali sejak abad ke-8 dan hingga kini tetap menjadi pegangan hidup masyarakat Bali lintas generasi.
Tidak hanya diterapkan dalam kehidupan beragama, Tri Hita Karana juga menjadi dasar dalam pengambilan keputusan, pengelolaan sumber daya alam, tata kelola desa adat, hingga pembangunan ekonomi, khususnya pariwisata.
Parahyangan, Menjalin Hubungan dengan Yang Ilahi
Parahyangan menekankan pentingnya hubungan manusia dengan Tuhan atau Sang Hyang Widhi Wasa. Masyarakat Bali mempraktikkan parahyangan melalui berbagai upacara, ritual, dan persembahan yang dilakukan hampir setiap hari.
Hampir setiap rumah di Bali memiliki sanggah atau pura keluarga, yang digunakan untuk berdoa. Di tingkat desa, terdapat pura desa, pura puseh, pura dalem, dan pura segara yang memiliki fungsi khusus.
Hari-hari besar seperti Galungan, Kuningan, Nyepi, dan Melasti adalah contoh nyata upacara besar sebagai ungkapan syukur, permohonan perlindungan, dan penyucian diri.
Bahkan, hotel, restoran, hingga tempat wisata pun sering menyediakan tempat khusus untuk persembahan (canang sari), menunjukkan bahwa nilai spiritualitas menyatu dengan kehidupan sehari-hari.
Pawongan, Membangun Keharmonisan Sosial
Pawongan mengajarkan pentingnya menjaga hubungan baik antar manusia. Di Bali, prinsip ini terlihat jelas dalam kehidupan komunal. Masyarakat tinggal dalam sistem banjar, yaitu organisasi adat yang mengatur kehidupan sosial.
Keputusan di banjar diambil melalui musyawarah, dan hampir setiap anggota masyarakat terlibat dalam kegiatan gotong royong, mulai dari upacara adat hingga perbaikan fasilitas umum.
Selain itu, nilai toleransi juga sangat dijunjung tinggi. Meski mayoritas masyarakat Bali beragama Hindu, mereka hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain seperti Islam, Kristen, dan Buddha dalam suasana rukun. Ini menjadi salah satu kekuatan sosial Bali yang jarang ditemukan di tempat lain.
Palemahan, Menjaga Keharmonisan dengan Alam
Palemahan adalah hubungan harmonis manusia dengan lingkungan. Dalam pandangan masyarakat Bali, alam bukan sekadar objek yang bisa dieksploitasi, melainkan memiliki roh atau energi yang harus dihormati.
Inilah yang mendasari lahirnya sistem subak, yaitu sistem pengairan sawah berundak yang sudah ada sejak abad ke-9 dan kini diakui sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO.
Selain itu, masyarakat Bali sangat memperhatikan aspek keseimbangan dalam pembangunan. Mereka meyakini bahwa pelanggaran terhadap alam akan membawa malapetaka, sehingga aturan adat pun dibuat untuk melindungi kawasan suci, hutan, dan laut.
Ritual-ritual seperti Tumpek Uduh (ritual untuk pohon) atau Tumpek Kandang (untuk hewan ternak) mencerminkan perhatian mendalam terhadap keberlangsungan lingkungan.
Implementasi dalam Kehidupan Sehari-hari
Tri Hita Karana bukan sekadar slogan, ia hadir nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali. Beberapa contoh implementasinya adalah pada arsitektur rumah, penataan rumah adat Bali mengikuti prinsip Asta Kosala Kosali yang memperhatikan kesucian arah mata angin.
Di bidang pertanian, sistem subak memastikan distribusi air yang adil dan menjaga kelestarian ekosistem sawah.
Sementara di pariwisata berkelanjutan, banyak hotel dan resort di Bali yang mendapatkan sertifikasi “Tri Hita Karana Award” karena menerapkan prinsip ini dalam operasional mereka, seperti pengelolaan limbah, pemberdayaan masyarakat lokal, dan penghormatan terhadap kearifan lokal.
Relevansi di Era Modern
Di tengah modernisasi dan globalisasi, falsafah Tri Hita Karana justru semakin relevan. Ketika dunia menghadapi krisis lingkungan, degradasi sosial, dan hilangnya nilai spiritual, Bali menawarkan sebuah model hidup yang seimbang.
Banyak komunitas di luar Bali mulai melirik prinsip ini sebagai inspirasi, terutama untuk membangun pariwisata berkelanjutan, pendidikan berbasis karakter, dan gerakan pelestarian lingkungan.
Pemerintah Provinsi Bali pun secara resmi menjadikan Tri Hita Karana sebagai landasan pembangunan daerah, memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak mengorbankan keberlanjutan sosial dan lingkungan.
Tantangan dan Harapan
Meski begitu, Bali tidak luput dari tantangan. Lonjakan pariwisata, alih fungsi lahan, dan polusi menjadi ancaman nyata terhadap keberlanjutan prinsip Tri Hita Karana.
Dibutuhkan komitmen bersama, baik dari pemerintah, masyarakat lokal, pelaku pariwisata, hingga wisatawan, untuk menjaga agar falsafah luhur ini tidak sekadar menjadi simbol, melainkan tetap hidup dalam praktik sehari-hari.