Perbedaan Ikat Kepala Tradisional di Bali, Jawa, dan Sunda

Setiap daerah di Indonesia punya tradisi ikat kepala,
Sumber :
  • https://www.istockphoto.com/id/search/2/image-film?phrase=udeng

Budaya, VIVA Bali –Indonesia adalah negeri yang kaya akan budaya dan tradisi. Salah satu warisan budaya yang menarik adalah ikat kepala tradisional, yang memiliki makna simbolis, estetis, dan filosofis. Di berbagai daerah, bentuk dan cara pemakaian ikat kepala ini berbeda-beda, mencerminkan nilai-nilai khas masing-masing budaya. Artikel ini akan membahas perbedaan ikat kepala tradisional dari Bali, Jawa, dan Sunda.

Liburan ke Bali? Ada Panduan Tata Krama yang Harus Kamu Tahu Biar Makin Akrab Dengan Warga Lokal!

 

1. Udeng (Bali)

Di Bali, ikat kepala dikenal dengan nama udeng. Udeng bukan sekadar aksesoris, tetapi merupakan bagian penting dari identitas pria Bali, terutama saat menjalankan ritual keagamaan atau menghadiri upacara adat.

Dari Subak ke Tri Hita Karana Filosofi Bali yang Diakui UNESCO

Ciri khas udeng yakni terbuat dari kain persegi panjang yang dilipat dan diikat di kepala, umumnya memiliki simpul di bagian depan dan agak miring ke kanan.

Motif dan warna udeng bervariasi umumnya putih polos untuk upacara keagamaan, hitam atau berwarna untuk kegiatan sehari-hari, dan motif khusus (seperti poleng) untuk keperluan adat. Pemakaiannya melambangkan kesucian, pemusatan pikiran, dan keteguhan hati saat bersembahyang.

Pesona Melasti! Melihat lebih Dekat Tradisi Unik Khas Bali

Selain fungsinya dalam ritual, udeng juga dipakai dalam kegiatan budaya, seni tari, hingga sehari-hari sebagai simbol identitas kebanggaan masyarakat Bali.

 

2. Blangkon (Jawa)

Di Jawa, ikat kepala dikenal sebagai blangkon, yang memiliki bentuk lebih permanen karena sudah dijahit dan siap pakai, berbeda dengan udeng yang harus diikat manual.

Ciri khas blangkon yakni terbuat dari kain batik dengan motif tradisional, memiliki bentuk menyerupai topi tertutup yang pas di kepala, terdapat "tonjolan" atau lilitan di bagian belakang, yang dulunya melambangkan rambut pria Jawa yang digelung (diikat).

Setiap daerah memiliki ciri blangkon sendiri, misalnya blangkon Yogyakarta dengan tonjolan datar di belakang, sedangkan blangkon Solo memiliki tonjolan menonjol.

Blangkon bukan sekadar penutup kepala, tapi menyimbolkan ketertiban, kedisiplinan, dan pengendalian diri seorang pria Jawa. Ia juga sering dipakai dalam acara pernikahan, pertunjukan seni, dan upacara adat.

 

3. Iket (Sunda)

Masyarakat Sunda di Jawa Barat mengenal ikat kepala bernama iket atau totopong. Berbeda dengan blangkon, iket lebih fleksibel karena berupa kain panjang yang dililit dan diikat sendiri oleh pemakainya.

Ciri khas iket Sunda yakni terbuat dari kain polos atau bermotif khas Sunda seperti megamendung atau motif geometris sederhana. Diikat dengan simpul di bagian depan atau samping, tergantung modelnya.

Bentuknya sederhana namun elegan, menggambarkan kesederhanaan dan keakraban khas masyarakat Sunda.

Ada berbagai jenis iket, seperti iket barangbang semplak, iket hanjuang nyungcung, atau iket hanjuang nangtung, yang menunjukkan status sosial atau acara tertentu.

Iket Sunda sering digunakan dalam acara kesenian seperti wayang golek, seni rampak kendang, hingga dalam keseharian di pedesaan.

 

Ketiga ikat kepala tersebut tidak hanya mempercantik penampilan, tetapi juga sarat makna budaya yang diwariskan turun-temurun.