Menggali Filosofi Hidup, Kearifan Budaya yang Mengakar di Tanah Lombok

Pertunjukan Budaya Suku Sasak Di Lombok
Sumber :
  • www.shutterstock.com/image-photo/lombok-indonesiaseptember-2012-culture-presean-stick-2449375559

Gumi Bali, VIVA Bali – Lombok, sebuah pulau yang dikenal dengan keindahan alamnya, menyimpan kekayaan budaya yang mendalam, terutama dari Suku Sasak sebagai penduduk aslinya. Kearifan budaya ini tidak hanya terwujud dalam bentuk fisik seperti rumah adat atau kesenian, tetapi juga mengakar kuat dalam filosofi hidup yang dipegang teguh oleh masyarakatnya. Filosofi ini menjadi panduan dalam setiap sendi kehidupan, membentuk karakter, dan menjaga harmoni antara manusia, alam, serta Tuhan.

Kenali Sistem Banjar yang Mengatur Kehidupan Sosial Masyarakat Bali

 

Hidup Lurus dan Nilai-Nilai Fundamental

 

I Gusti Ketut Jelantik, Tokoh Kunci dalam Perang Puputan Bali

Salah satu inti filosofi hidup masyarakat Sasak adalah konsep "hidup lurus". Kata "Lombok" itu sendiri, yang dalam pengucapan lokal dapat merujuk pada "lumbu" yang berarti lurus, mencerminkan pemaknaan ini. Dalam perspektif Islam yang banyak dianut Suku Sasak, "hidup lurus" diibaratkan dengan "as-Shirath al-Mustaqim," jalan yang benar dan lurus, menunjukkan komitmen pada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan dalam setiap tindakan.

 

Melukat, Menyelami Kedalaman Jiwa dan Kearifan Lokal Bali

Filosofi "hidup lurus" ini diwujudkan melalui tiga prinsip utama yang dikenal sebagai "Tindih, Maliq, dan Merang":

1. Tindih: Konsep ini menekankan kejujuran, integritas, dan keselarasan antara perkataan dan perbuatan. Tindih mengajarkan pentingnya menjadi pribadi yang patut (benar), patuh (taat), pacu (rajin), solah (baik), dan saleh (damai).

2. Maliq: Bermakna larangan atau pantangan. Maliq adalah rambu-rambu yang mencegah masyarakat melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama, adat istiadat, atau norma sosial. Ini adalah bentuk kontrol sosial yang kuat untuk menjaga tatanan dan etika.

3. Merang: Menggambarkan ketajaman atau semangat untuk menjadi bermanfaat. Filosofi ini mendorong individu untuk tidak hanya melakukan pekerjaan secara kuantitas, tetapi juga kualitas, serta senantiasa berguna bagi sesama. Merang menuntut inovasi dan kontribusi positif dalam kehidupan bermasyarakat.

 

Ketiga prinsip ini, menurut pandangan masyarakat Sasak, mampu membentuk individu menjadi pribadi yang berkarakter mulia, menjunjung tinggi martabat, dan senantiasa berbuat baik.

 

"Lomboq Mirah, Sasak Adi": Cerminan Harmoni dan Martabat

 

Manuskrip Negarakertagama menyebutkan, "Lomboq Mirah, Sasak Adi," yang berarti kejujuran adalah permata utama yang harus diikuti oleh masyarakat Sasak. Ungkapan ini menjadi fondasi bagi prinsip hidup yang mengarah pada harmoni, keamanan, dan kenyamanan dalam bermasyarakat. Nilai-nilai nirkekerasan menjadi kebutuhan dalam proses menjadi individu dan makhluk sosial, sehingga tercipta suasana yang damai dalam keseharian.

 

Kearifan dalam Tradisi dan Simbol Budaya

Filosofi hidup masyarakat Sasak juga tercermin dalam berbagai tradisi dan simbol budayanya:

1. Pakaian Adat Pegon: Pakaian adat pria Sasak, Pegon, adalah perpaduan tradisi Jawa dan Eropa yang melambangkan keagungan dan kesopanan. Kain songket dengan benang emas (leang/tampet/dodot) yang menghiasi pinggang dan penutup kepala (sapuq/sapuk) yang melambangkan kejantanan serta melindungi pikiran dari kekotoran, semuanya sarat akan makna filosofis.

2. Tradisi Begibung: Tradisi makan bersama ini mencerminkan filosofi kebersamaan, persaudaraan, empati, tolong-menolong, dan gotong royong. Begibung bukan sekadar kegiatan makan, melainkan wadah untuk menumbuhkan nilai-nilai sosial yang erat.

3. Nyongkolan dan Perang Topat: Tradisi seperti Nyongkolan (arak-arakan pengantin) dan Perang Topat (lempar ketupat sebagai wujud syukur panen) juga mengandung nilai toleransi, pluralisme, serta silaturahmi yang kuat, menunjukkan bagaimana budaya berfungsi sebagai perekat sosial.

 

Kearifan budaya yang mengakar di Tanah Lombok ini adalah cerminan dari bagaimana masyarakat Sasak menjaga identitas, spiritualitas, dan hubungan harmonis dengan sesama serta lingkungan. Filosofi "hidup lurus" dengan prinsip "Tindih, Maliq, dan Merang" menjadi kompas moral yang membimbing mereka dalam menghadapi tantangan zaman, memastikan nilai-nilai luhur tetap lestari.