Gasing Bali, Warisan Mainan Tradisional yang Terus Berputar

Gasing Bali, seimbang di tengah zaman
Sumber :
  • https://gasingindonesia.wordpress.com/2009/02/23/gasing-bali/

Gumi Bali, VIVA Bali – Ingat masa kecil yang penuh keringat dan tawa di bawah matahari? Saat gadget belum mendominasi, anak-anak Bali punya sejuta cara untuk bersenang-senang. Salah satunya lewat permainan tradisional Bali yang satu ini: gasing. Bukan sekadar mainan, gasing punya filosofi, teknik, bahkan nilai budaya yang dalam.

Kenali Sistem Banjar yang Mengatur Kehidupan Sosial Masyarakat Bali

 

Mainan Putar yang Menyatukan Generasi

 

I Gusti Ketut Jelantik, Tokoh Kunci dalam Perang Puputan Bali

Di banyak desa Bali, terutama saat musim panen atau libur sekolah, anak-anak berkumpul di tanah lapang. Mereka membawa gasing—biasanya terbuat dari kayu keras, ujungnya tajam, dan diputar dengan seutas tali. Lemparan pertama yang tepat bisa membuat gasing menari hingga beberapa menit lamanya. Serunya? Gasing yang paling lama berputar atau berhasil "menumbangkan" gasing lawan akan jadi juara.

 

Melukat, Menyelami Kedalaman Jiwa dan Kearifan Lokal Bali

Permainan ini tidak cuma jadi ajang adu keterampilan, tapi juga ajang kumpul dan belajar kerja sama. Kadang satu anak memutar, yang lain bersorak dan mendukung. Momen seperti ini mempererat ikatan sosial dalam masyarakat, sesuatu yang mungkin jarang ditemukan dalam dunia digital sekarang.

 

Lebih dari Sekadar Kayu yang Berputar

 

Di balik bentuknya yang sederhana, gasing menyimpan banyak makna. Bagi masyarakat Bali, gasing bukan cuma mainan tradisional, tapi juga simbol filosofi hidup: terus berputar, mencari keseimbangan. Kayu yang dipilih pun tidak sembarangan. Biasanya digunakan kayu keras seperti sono, jati, atau bambu kering yang diraut halus dan diseimbangkan dengan paksi (paku di bawahnya).

 

Membuat gasing butuh ketelitian. Ukuran, berat, hingga bentuk harus seimbang agar bisa berputar dengan stabil. Bahkan ada pengrajin gasing khusus yang menjual karya mereka kepada kolektor atau wisatawan. Sebuah tradisi yang tidak hanya lestari, tapi juga punya nilai ekonomi.

 

Bertahan di Tengah Serbuan Gadget

 

Di era serba digital, permainan seperti gasing memang mulai tergeser. Anak-anak kini lebih sering sibuk dengan layar dibanding bermain di luar. Tapi untungnya, masih banyak sekolah, komunitas budaya, dan pemerintah desa yang mulai menghidupkan kembali permainan tradisional Bali, termasuk gasing.

 

Beberapa desa menggelar lomba gasing saat upacara adat atau hari besar. Tak hanya anak-anak, orang dewasa pun ikut ambil bagian—sekadar bernostalgia atau ingin menunjukkan bahwa mereka masih jago. Bahkan ada pelatihan membuat dan memainkan gasing untuk pelajar, agar tradisi ini tak hilang ditelan zaman.

 

Wisata Budaya Lewat Gasing

 

Yang menarik, gasing kini juga dilirik sebagai bagian dari atraksi wisata budaya. Beberapa desa wisata di Bali menyisipkan sesi “belajar main gasing” dalam paket tur mereka. Turis asing pun antusias mencoba—terkadang gagal di awal, tapi tetap senang karena merasakan budaya lokal secara langsung.

 

Kegiatan seperti ini membuka peluang besar. Selain melestarikan budaya, juga menjadi cara menumbuhkan ekonomi lokal. Bayangkan jika gasing bukan hanya jadi tontonan, tapi juga pengalaman interaktif untuk wisatawan yang haus akan hal-hal autentik dari Bali.

 

Terus Berputar Bersama Zaman

 

Permainan tradisional Bali seperti gasing adalah bukti bahwa kesenangan tak selalu harus mahal atau canggih. Dengan sebongkah kayu dan seutas tali, anak-anak bisa tertawa lepas, belajar sportivitas, hingga mengenal nilai budaya.

 

Meski zaman berubah, gasing tetap bisa punya tempat—asal kita memberi ruang dan waktu untuknya. Mungkin bukan lagi sekadar mainan anak-anak, tapi juga simbol perlawanan kecil terhadap lunturnya kearifan lokal. Karena selama masih ada yang melemparkan tali dengan semangat, gasing akan terus berputar.