Mengulik Makna Sakral di Balik Tradisi Ngurek Bali
- https://wisatahouse.com/tradisi-ngurek-adat-bali-yang-ekstrim-masih-lestari/
Gumi Bali, VIVA Bali – Upacara-upacara sakral di Bali selalu mampu memikat perhatian karena kaya akan makna spiritual dan kekuatan simbolis. Salah satu di antaranya adalah Tradisi Ngurek, tradisi yang dikenal dengan prosesi menusuk tubuh sendiri tanpa luka sebagai bentuk pengabdian dan kesakralan.
Tradisi Ngurek banyak dijumpai di kawasan Denpasar Timur, khususnya di Pura Petilan Kesiman. Upacara ini dilaksanakan dalam suasana kerauhan, saat tubuh manusia dipercaya dirasuki oleh roh suci.
Ngurek berasal dari kata "urek" yang berarti melobangi atau menusuk, dan telah dilakukan sejak zaman kerajaan sebagai lambang keberanian prajurit. Ritual ini juga bertujuan sebagai wujud syukur kepada Sang Hyang Wenang atas anugerah-Nya.
Prosesi Ngurek terdiri atas tiga tahapan yaitu nusdus sebagai tahap pemanggilan roh, masolah yang disertai tarian dan gamelan, serta ngaluwur yaitu proses pemulihan kesadaran. Saat roh masuk, tubuh pengurek menunjukkan gejala seperti menggigil, memekik, dan akhirnya mulai menancapkan keris ke tubuh mereka.
Pemandangan luar biasa ini bisa dilihat saat upacara Pengerebongan yang digelar sepuluh hari setelah Hari Raya Kuningan. Siapa pun, baik laki-laki maupun perempuan, tua atau muda, bisa mengikuti Ngurek selama dalam kondisi kerauhan, tanpa memandang status sosial.
Tradisi ini tidak hanya tampil saat pujawali atau ngeramen, tetapi juga menjadi bagian penting dalam ritual Bhuta Yadnya yang bertujuan menjaga keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan. Setelah upacara selesai, para peserta yang kerasukan akan kembali ke kesadaran dan mengakhiri prosesi secara sakral.
Ngurek bukan sekadar pertunjukan fisik, tapi juga simbol kuatnya keyakinan masyarakat Bali terhadap kekuatan niskala yang menggerakkan kehidupan mereka. Di balik keberanian menusuk tubuh tanpa luka, tersimpan pesan spiritual tentang ketulusan, pengabdian, dan keselarasan dengan alam semesta.