Alasan Umat Hindu Bali Menempelkan Beras di Kening Setelah Persembahyangan
- https://www.instagram.com/p/B1XoHAbFLQE/?igsh=YjlyODg2NHJobzVq
Gumi Bali, VIVA Bali – Umat Hindu Bali memiliki kebiasaan menempelkan beras di kening setelah melaksanakan sembahyang di pura ataupun di rumah. Beras yang dipakai setelah sembahyang itu disebut dengan Wija atau Bija yang dalam bahasa Sansekerta disebut gandasakta yang berasal dari kata “ganda” dan “aksata” yang berarti biji padi-padian yang utuh serta berbau wangi.
Wija atau bija berasal dari butir-butir beras yang dicuci dengan air bersih. Bija juga terkadang dicampur dengan kunyit sehingga berwarna kuning dan disebut dengan bija kuning. Lantas, apa makna dibalik penggunaan bija di kening setiap umat Hindu Bali selesai bersembahyang?
Bija merupakan lambang Kumara, yakni putra atau bija Bhatara Siwa yang pada hakikatnya bermakna benih ke-Siwa-an/ Kedewataan yang bersemayam dalam diri setiap manusia. Oleh karenanya, bija umumnya berasal dari beras yang utuh dan tidak patah (aksata). Alasannya karena beras yang pecah atau terpotong tidak akan bisa tumbuh. Karena mebija sendiri mengandung makna menumbuhkembangkan benih ke-Siwa-an dalam diri seseorang.
Bija umumnya ditempatkan di lima titik yang dianggap peka terhadap sifat-sifat kedewataan atau ke-Siwa-an yang disebut dengan Panca Adisesa. Lima titik itu adalah:
1. Manipura Cakra, yakni pusar sebagai pusat.
2. Hatta Cakra, di bagian ulu hati.
3. Wisuda Cakra, di leher atau di luar tenggorokan.
4. Anja Cakra, di antara dua alis mata dan sedikit ke atas
5. Di dalam mulut, langsung ditelan.
Namun, karena saat persembahyangan umat Hindu mengenakan sarana pakaian yang lengkap sehingga tidak semua titik dapat dijangkau, maka peletakkan bija umumnya cukup difokuskan pada 3 titik, yaitu:
1. Anja Cakra, di antara dua alis sedikit keatas. Tempat ini dianggap sebagai tempat mata ketiga (cudamani). Sehingga penempatan bija diharapkan dapat menumbuhkan sinar-sinar kebijaksanaan.
2. Wisuda Cakra, di leher atau tenggorokan. Sebagai simbol penyucian dengan harapan agar mendapatkan kebahagiaan.
3. Di dalam mulut dengan cara langsung ditelan dan jangan digigit ataupun dikunyah. Karena jika dikunyah, beras akan patah dan akhirnya tidak menumbuhkembangkan sifat kedewataan. Sebagai simbol untuk mencapai kesempurnaan hidup melalui kesucian rohani.
Dapat disimpulkan bahwa penggunaan bija dalam persembahyangan umat Hindu Bali bermakna untuk menumbuhkembangkan sifat kedewataan atau ke-Siwa-an dalam diri setiap manusia. Seperti yang disebutkan dalam Upanisad bahwa Tuhan memenuhi alam semesta tanpa wujud tertentu, tidak berada di surga atau di dunia tertinggi, melainkan ada pada setiap ciptaan-Nya.