Dari Subak ke Tri Hita Karana Filosofi Bali yang Diakui UNESCO
- https://unsplash.com/photos/a-green-landscape-
Peristiwa, VIVA Bali – Kalau kamu pernah liburan ke Bali dan terpukau melihat hamparan sawah bertingkat yang rapi seperti lukisan alam, kamu sebenarnya sedang menyaksikan warisan budaya yang hidup. Bukan sekadar pemandangan indah.
Di balik hijaunya padi yang bergoyang tertiup angin, tersembunyi sistem sosial, spiritual, dan ekologis yang sudah diwariskan turun-temurun oleh masyarakat Bali selama berabad-abad.
Namanya Subak, sebuah sistem irigasi tradisional di Bali. Subak bukan hanya cara membagi air, tapi juga cermin dari filosofi hidup orang Bali yang disebut Tri Hita Karana. Sebuah cara pandang yang mengajarkan bagaimana manusia bisa hidup harmonis dengan Tuhan, sesama, dan alam.
Bukan Sekadar Irigasi
Tapi Subak bukan cuma soal pengairan. Ia adalah organisasi sosial dan spiritual yang melibatkan para petani dalam pengelolaan air secara gotong royong, lewat rapat rutin, kesepakatan bersama, dan upacara di pura.
Yang bikin unik, Subak ini dijalankan atas dasar nilai-nilai budaya Bali yang dikenal dengan nama Tri Hita Karana. Sebuah filosofi tentang hidup selaras dengan Tuhan, sesama, dan alam. Sistem ini bukan cuma bikin sawah jadi subur, tapi juga menjaga hubungan sosial dan spiritual masyarakat supaya tetap harmonis.
Tri Hita Karana Hidup di Tengah Sawah
Tri Hita Karana artinya "tiga penyebab kebahagiaan", yang terdiri dari:
- Parahyangan: hubungan manusia dengan Tuhan
- Pawongan: hubungan manusia dengan sesama
- Palemahan: hubungan manusia dengan alam
Nilai-nilai ini tidak hanya sebatas teori, tapi benar-benar diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali, terutama dalam sistem Subak. Para petani mengelola sawah bukan hanya untuk panen, tapi juga sebagai bagian dari upaya menjaga harmoni hidup.
Ketika petani berkumpul dalam Subak, keputusan-keputusan penting seringkali dilakukan di pura subak, dengan berlandaskan nilai religius. Selain menentukan jadwal tanam dan panen, mereka juga mengatur jadwal upacara-upacara sakral yang diyakini menjaga keseimbangan alam. Ini menjadi bukti bahwa praktik pertanian di Bali tidak bisa dipisahkan dari spiritualitas.
Dari Bali ke Kancah Dunia Lewat UNESCO
Pengakuan dunia datang pada tahun 2012, saat UNESCO menetapkan Subak sebagai Warisan Budaya Dunia dalam kategori cultural landscape. Artinya, lanskap pertanian Bali dianggap punya nilai universal luar biasa karena sistemnya yang unik, lestari, dan berbasis budaya.
Proses pengusulannya sendiri butuh waktu 12 tahun, melibatkan berbagai ahli mulai dari arkeologi, antropologi, geografi, hingga ilmu lingkungan. Ada empat area utama Subak yang diakui UNESCO:
- Subak Catur Angga Batukaru (Tabanan & Buleleng)
- Pura Taman Ayun (Badung)
- Subak di daerah Sungai Pakerisan (Gianyar)
- Danau Batur & Pura Ulun Danu Batur (Bangli)
Kesemua tempat ini dianggap mewakili nilai-nilai Tri Hita Karana yang dihidupi dalam keseharian masyarakat Bali.
Menjaga Subak di Tengah Arus Modernisasi
Meski sudah diakui dunia, Subak tetap menghadapi berbagai tantangan. Perubahan iklim, alih fungsi lahan, hingga pergeseran gaya hidup generasi muda menjadi tantangan nyata. Banyak anak muda Bali yang memilih meninggalkan pertanian dan beralih ke sektor pariwisata. Padahal, tanpa generasi penerus yang memahami makna Subak, warisan ini bisa terancam.
Pemerintah dan berbagai lembaga budaya pun aktif mengupayakan pelestarian Subak, baik melalui pendidikan budaya di sekolah, hingga kampanye pariwisata berbasis budaya. Di beberapa daerah, Subak bahkan mulai dikembangkan sebagai destinasi ekowisata, di mana wisatawan bisa belajar langsung tentang filosofi Tri Hita Karana dan ikut dalam kegiatan bertani.
Sawah Bukan Sekadar Ladang Padi
Bagi masyarakat Bali, sawah adalah ruang spiritual, sosial, dan ekologis. Dengan sistem Subak, sawah menjadi tempat bertemunya manusia, Tuhan, dan alam. Jadi jangan heran kalau di Bali, sawah tidak sekadar tempat kerja. Tapi sebuah ruang untuk menjalani hidup yang utuh, seimbang, dan penuh makna.