Ketika Gotik Menyapa Gereja di Tanah Semarang
- https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Interior,_Gedangan_Church,_2014-06-21_03.jpg
Jika Gotik klasik mengedepankan kemegahan vertikal dan ornamentasi kompleks, Neo-Gothic di Gedangan lebih sederhana dan fungsional. Pilar-pilar dibuat lebih ramping, ornamen dikurangi, dan penggunaan bahan lokal semakin dominan. Di sinilah arsitektur kolonial belajar “bernegosiasi” dengan budaya dan iklim Indonesia.
Melampaui Bangunan Ibadah
Kini, Gereja Gedangan menjadi salah satu ikon warisan budaya Kota Semarang. Ia tidak hanya berdiri sebagai tempat misa, tetapi juga sebagai ruang sejarah. Di dalamnya tersimpan kisah toleransi, kreativitas, dan adaptasi. Banyak peneliti arsitektur datang untuk mengamati bagaimana bangunan kolonial dapat berdialog dengan kearifan lokal tanpa kehilangan kesakralannya.
“Arsitektur Gedangan memperlihatkan bahwa bentuk religius bisa fleksibel tanpa kehilangan makna spiritual,” simpul Fadillah. Melalui transformasi itu, Gereja Gedangan bukan hanya rumah Tuhan di tengah kota, tetapi juga monumen dialog antara masa lalu dan masa kini. Bagi masyarakat Semarang, denting lonceng dari menaranya setiap Minggu pagi bukan sekadar panggilan doa, melainkan gema sejarah yang terus hidup di antara modernitas dan kenangan.