Mengungkap Misteri Malam Satu Suro, Penanda Bulan Suci dan Spiritualitas Masyarakat Jawa

Laku prihatin Jawa untuk eling dan waspada di bulan keramat
Sumber :
  • https://sonobudoyo.jogjaprov.go.id/id/tulisan/read/tradisi-malam-satu-suro-spiritualitas-dan-sakralitas-tahun-baru-jawa

Tradisi, VIVA Bali – Masyarakat Jawa menyambut tahun baru dengan nuansa sakral melalui Tradisi Malam Satu Suro, perayaan bulan keramat yang bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriah atau 1 Suro dalam kalender Jawa. Tradisi turun-temurun ini, yang dilestarikan sejak era Kerajaan Mataram Islam, bertujuan memohon keselamatan, ilham, dan berkah dari Yang Maha Kuasa untuk menghindari hal buruk selama bulan suci, sekaligus merefleksikan syukur, evaluasi dosa, dan perbaikan diri. Berbeda di setiap daerah, ritual ini mencakup jamasan pusaka, kirab, tapa brata, dan laku prihatin, dengan suasana hikmat yang melibatkan tokoh masyarakat hingga pemerintah, menjadikannya simbol kekeramatan spiritual yang unik bagi budaya Jawa (wikipedia.org).

Keindahan dan Makna di Setiap Lengkung Penjor Bali

Pembentukan Tradisi Malam Satu Suro, dilansir dari indonesiakaya.com, berawal dari inisiatif Sultan Agung Hanyakrakusuma pada Jumat Legi bulan Jumadil Akhir tahun 1555 Saka atau 8 Juli 1633 Masehi yang menyatukan kalender Saka Hindu dengan Hijriah Islam menjadi kalender Jawa untuk memperluas ajaran Islam di Tanah Jawa. Kata "Suro" berasal dari "asyura" (bahasa Arab untuk kesepuluh), merujuk tanggal 10 Muharram yang sakral, terkait peristiwa wafatnya Sayyidina Husein di Karbala, dan diadaptasi sebagai bulan pertama kalender Jawa dengan 10 hari pertama yang paling keramat. Di masa Kerajaan Mataram, bulan ini menekankan prihatin dan introspeksi, bukan pesta, dipengaruhi budaya keraton yang memandang Suro sebagai waktu membersihkan jiwa dari hiruk-pikuk dunia (jogjaprov.go.id).

Pengelola tradisi seperti keraton dan komunitas Jawa terus melestarikannya untuk memperkuat identitas budaya, dengan perayaan utama di Yogyakarta, Solo, Cirebon, dan pesisir seperti Labuhan. Saat ini, tradisi ini menjadi ikon spiritual Jawa yang menarik wisatawan budaya, di mana peserta diajak merenung melalui ritual sunyi, doa bersama, dan simbol-simbol seperti bubur suran yang melambangkan keseimbangan hidup, sambil menjaga nilai eling (ingat diri sebagai ciptaan Tuhan) dan waspada dari godaan (wikipedia.org).

Tradisi Kebo-Keboan, Makna dan Edukasi untuk Pelajar

Hingga saat ini, beragam ritual menjadi daya tarik utama Tradisi Malam Satu Suro dilansir dari indonesiakaya.com dan jogjaprov.go.id, diantaranya: di Keraton Yogyakarta, Jamasan Pusaka (pembersihan benda sakral seperti keris, gamelan, dan kereta) diikuti Mubeng Beteng atau Tapa Bisu yaitu prosesi 4 km mengelilingi benteng tanpa alas kaki dan bicara, terinspirasi pradaksina Hindu-Buddha untuk memohon restu yang dilaksanakan Keraton Surakarta (Solo), Kirab Pusaka dengan Kebo Bule Kyai Slamet sebagai pengawal, di mana warga berebut kotorannya untuk berkah, dilaksanakan sejak era Paku Buwono XII (1973) atas permintaan Presiden Soeharto di Pura Pakualaman, Lampah Ratri yang mengitari kadipaten dalam gelap, serta di pesisir seperti Labuhan untuk nelayan memohon perlindungan laut, atau Cirebon mengenang Maheso Suro untuk kemakmuran. Selain itu, laku prihatin umum mencakup tirakatan semalaman, nonton wayang, ruwatan, dan makan bubur suran dengan tujuh kacang sebagai penutup, di mana mitos keselamatan spiritual seperti transendensi jiwa dan damai sejahtera menjadi pengingat tanggung jawab beribadah. Tradisi Malam Satu Suro menawarkan pengalaman spiritual yang menyatukan Islam-Jawa, mengajak berhenti sejenak di tengah kehidupan modern untuk merenung, bersyukur, dan memulai tahun baru dengan ketenangan batin.