Indahnya Tumbilotohe, Festival Lampu Ramadan di Gorontalo
- https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Tumbilotohe-Tradisi_Masyarakat_Gorontalo.jpg
Budaya, VIVA Bali – Setiap daerah di Indonesia punya cara unik merayakan datangnya Idulfitri. Di Gorontalo, masyarakat punya tradisi yang dikenal dengan Tumbilotohe, yang secara harfiah berarti menyalakan lampu. Ritual ini dilakukan pada tiga malam terakhir Ramadan, saat keluarga dan warga desa memasang ribuan lampu minyak di halaman rumah, jalan-jalan, hingga pelataran masjid. Pemandangannya indah sekaligus penuh makna. Cahaya lampu dianggap sebagai simbol penerang jalan menuju kemenangan di hari raya.
Tradisi ini sudah berlangsung sejak berabad-abad lalu. Pada masa ketika listrik belum menjangkau banyak wilayah, lampu minyak menjadi sumber penerangan utama. Warga Gorontalo kemudian menjadikannya bagian dari tradisi spiritual di bulan Ramadan. Menurut laman resmi Geopark Gorontalo, lampu-lampu yang digunakan tidak sembarangan. Ada yang terbuat dari tempurung kelapa, cangkang, atau botol bekas, yang kemudian diisi minyak dan sumbu. Kreativitas warga membuat suasana Tumbilotohe semakin semarak dan penuh warna.
Lebih dari sekadar indah, Tumbilotohe memiliki pesan religius dan sosial. Cahaya lampu dimaknai sebagai simbol harapan, pembersih jiwa, sekaligus doa agar kehidupan setelah Ramadan lebih terang. “Lampu-lampu ini tidak hanya untuk menerangi jalan ke masjid, tetapi juga melambangkan doa untuk keberkahan,” tulis Geopark Gorontalo. Dalam praktiknya, tradisi ini mempererat kebersamaan, karena warga saling bergotong royong memasang lampu hingga larut malam.
Skala Tumbilotohe pun luar biasa. Menurut Good News From Indonesia, pada tahun 2007 festival ini pernah mencatat rekor MURI dengan menyalakan sekitar 5 juta lampu minyak secara serentak. Bayangkan, jutaan titik cahaya menghiasi langit malam Gorontalo, menciptakan pemandangan yang tak hanya memukau mata, tetapi juga menegaskan kuatnya identitas budaya masyarakat setempat.
Bagi masyarakat Gorontalo, Tumbilotohe juga menjadi momen kebersamaan lintas generasi. Anak-anak ikut membantu menyalakan lampu, orang tua menyiapkan minyak dan sumbu, sementara tetangga saling berbagi bahan bakar jika ada yang kekurangan. Kehangatan inilah yang membuat tradisi ini tetap bertahan, meski zaman sudah berubah dan listrik kini tersedia di setiap rumah.
Meski sederhana, Tumbilotohe menyimpan filosofi dalam. Cahaya yang berpendar dari ribuan lampu menjadi pengingat bahwa Ramadan bukan sekadar menahan lapar, melainkan juga momen untuk membersihkan hati dan memperkuat hubungan sosial. Ia hadir sebagai bentuk rasa syukur, sekaligus doa agar Idulfitri benar-benar menjadi hari kemenangan yang penuh cahaya.
Dengan segala keunikan dan makna yang dikandungnya, Tumbilotohe bukan hanya ritual lokal, melainkan warisan budaya Indonesia yang pantas mendapat perhatian lebih luas. Dari tradisi turun-temurun ini, kita belajar bahwa cahaya sederhana dari lampu minyak bisa menyatukan masyarakat, memberi keindahan, sekaligus membawa pesan spiritual yang tak lekang oleh waktu.