Wangi Nusantara, Tradisi Mewangi Badan Warisan Leluhur yang Penuh Filosofi
- https://amulia.com/blog/parfum-ramah-lingkungan/
Budaya, VIVA Bali – Sebelum parfum modern mendominasi, masyarakat Nusantara memiliki tradisi mewangi badan menggunakan bahan alami yang kaya akan makna spiritual dan sosial. Dari Aceh hingga Papua, praktik ini bukan sekadar perawatan tubuh, melainkan bagian dari ritual keagamaan, identitas budaya, dan simbol status sosial. Wangi-wangian tradisional seperti minyak attar, boreh, dan kenanga menjadi saksi kecerdasan leluhur dalam memanfaatkan kekayaan alam untuk menjaga harmoni diri dan lingkungan. Dalam tradisi Nusantara, aroma dianggap sebagai medium penyatu antara manusia, alam, dan sang pencipta.
Di keraton-keraton Jawa, minyak melati (minyak jepun) digunakan dalam ritual ruwatan untuk membersihkan energi negatif. Suku Dayak di Kalimantan membakar kemenyan (gaharu) saat upacara Kawin (pernikahan) sebagai simbol penyucian jiwa, sementara masyarakat Bali memercayai bahwa minyak cendana mampu menenangkan pikiran dan meningkatkan konsentrasi saat meditasi. Filosofi ini tercermin dalam peribahasa Jawa: "Wangi kembang menepuh manah" (harum bunga menyentuh hati), yang menekankan peran aroma dalam membentuk karakter.
Setiap daerah memiliki bahan khas dengan metode pengolahan unik. Di Sumatera, minyak attar dari bunga mawar Pagaruyung (Sumbar) dan akar wangi (Vetiver) dari Aceh disuling secara tradisional menggunakan kuali tanah liat dan dianggap sebagai parfum termahal di masjid Kerajaan Aceh. Di Jawa, boreh (ramuan tepung beras, kunyit, dan kenanga) digunakan sebagai lulur aromaterapi oleh putri keraton, sementara di Cirebon, minyak kanthil (kantil) menjadi wewangian wajib dalam serah terima pengantin.
Masyarakat Bali merendam bunga kenanga dan frangipani (jepun) dalam minyak kelapa murni untuk menciptakan minyak guling yang dioleskan sebelum upacara. Suku Dayak di Kalimantan meremas daun pandan wangi dan menyelipkannya dalam sanggul, sementara kulit kayu manis dibakar sebagai dupa pengusir nyamuk sekaligus pewangi ruangan. Di Papua, getah pohon kayu putih (Melaleuca) dioleskan ke badan untuk aromanya yang segar dan khasiat antibakteri.
Leluhur Nusantara mengembangkan teknik pengolahan yang berkelanjutan, seperti penyulingan tradisional untuk menghasilkan minyak attar dengan mendidihkan bunga bersama air dalam still tembaga lalu mengkondensasi uapnya. Teknik perendaman (maceration) dilakukan dengan merendam bunga kenanga dalam minyak kelapa selama 40 hari hingga aromanya meresap sempurna. Pengeringan diterapkan pada daun pandan dan kayu manis yang dijemur hingga kering, lalu ditumbuk halus sebelum dibakar sebagai dupa.
Sementara itu, di Minangkabau, kue bika yang difermentasi digunakan sebagai masker wajah aromatik. Penggunaan wewangian tradisional juga mencerminkan strata sosial: raja dan bangsawan keraton menggunakan minyak misik (kasturi) dan kasturi dari kuskus sebagai simbol kemewahan, sementara rakyat jelata di pedesaan mengandalkan daun sirih dan jeruk purut yang diusapkan ke kulit sebagai parfum harian. Dalam upacara adat pernikahan suku Bugis, minyak siriwangi (serai wangi) dioleskan ke pengantin sebagai simbol kesucian.
Kedatangan bangsa Eropa membawa parfum sintetis yang perlahan menggeser tradisi lokal. Pada abad ke-19, minyak wangi Prancis menjadi status simbol bagi elite kolonial, meski masyarakat pedesaan tetap mempertahankan praktik tradisional karena keterjangkauan dan ketersediaan bahan. Era 1980-an menandai kemunduran drastis ketika produk kecantikan massal membanjiri pasar. Upaya menghidupkan kembali tradisi ini kini dilakukan melalui UMMK lokal seperti "Rumah Wangi Nusantara" di Yogyakarta yang memproduksi minyak kenanga dengan metode tradisional dan mengekspornya ke Jepang.